Jumat, 20 November 2015
TENUN IKAT ENDE LIO, DITENGAH HEGEMONI TEKSTIL MODERN
Tenun ikat bukan suatu produk asing bagi rakyat Indonesia dan lebih khusus bagi masyarakat Kabupaten Ende yang terdiri dari suku ende dan lio. Kain tenun sudah dikenal sejak zaman dahulu kala denga memanfaatkan potensi sumber daya alam setempat sebagai bahan baku local untuk diproses dan dijadikan kain tenun. Menenun merupakan kemampuan yang diajarkan secara turun menurun demi menjaga agar tetap dilestarikan. Tiap suku mempunyai keunikan masing-masing dalam hal corak dan motif. Tiap inidividu diharapkan bangga mengenakan kain dari sukunya masing-masing sebab tiap kain yang ditenun itu unik dan tidak ada satu pun identik sama. Motif atau pola yang ada merupakan manifestasi dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan memiliki ikatan emosional yang erat antara masyarakat dengan alam dan budayanya.
Pada masyarakat Ndona kegiatan menenun merupakan pekerjaan pokok bagi kaum hawa dan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Hampir setiap ibu-ibu melakukan aktifitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perkembangannya demi menata dan melestraikan budaya menenun dan coraknya maka dilakukan terbentuklah beberapa kelompok penenun yang ada dibeberapa wilayah misalnya di Kelurahan Onelako, Desa Manulondo maupun Desa Wolotopo. Kain tenun ikat yang telah jadi dikenal dengan sebutan lawo (untuk kaum hawa) dan luka/rafi (untuk kaum adam).
Ibu-Ibu yang tergabung dalam kelompok-kelompok penenun ataupun yang bukan patut mendapatkan apresiasi karena masih mempertahankan budaya tenun ikat tradisional ditengah-tengah gempuran produk tekstil modern baik dalam negeri maupun luar negeri. Selain mempertahankan tradisi yang telah diturunkan, tenun ikat tradisional merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat diandalkan. Proses tenun ikat lebih banyak melibatkan kaum perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan keterlibatan untuk laki-laki lebih kepada mencari bahan baku untuk ramuan atau adonan pada proses pewarnaan alami, selain itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para laki-laki juga bekerja bertani.
Kegiatan pembuatan tenun ikat tradisional dengan menggunakan proses pewarnaan alami tidak semudah yang dibayangkan, karena membutuhkan proses dan waktu yang panjang, total waktu yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah kain tenun ikat dengan pewarnaan alami dapat memakan waktu kurang lebih 2 bulan. Beberapa rangkaian kegiatan tenun ikat yaitu merangkai benang-benang untuk diikat menjadi satu rangkaian, sehingga akan membentuk sebuah motif tenun khas Ndona. Setelah motif terbentuk, kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan dengan mencelupkan kain tersebut berkali-kali pada adonan pewarna alami yang telah dipersiapkan sebelumnya. Selain itu alat-alat tradisional yang digunakan beragam, seperti olawoe, alat ini digunakan untuk menggulung benang menjadi bola sebelum digunakan, meka, alat ini digunakan untuk membuat rangkaian benang yang dililitkan pada meka hingga meka tersebut tertutup oleh lilitan benang (meka memiliki ukuran yang bermacam-macam), ndao go’a, alat ini dipergunakan untuk menaruh lilitan benang yang telah terbentuk di meka yang kemudian dilakukan pengikatan untuk pembuatan motif.
[caption id="attachment_327" align="alignnone" width="600"] Cantiknya gadis-gadis cilik dalam balutan lawo lambu[/caption]
Bahan pewarna yang digunakan dalam proses pewarnaan berasal dari bahan yang diambil dari alam, seperti warna merah alami diambil dari kulit akar mengkudu (Morinda sp), warna biru alami diambil dari daun Tarum (Indigofera tinctoria) selain itu untuk memperkuat warna – warna tersebut agar tetap cerah dan tidak mudah luntur (mordant), penenun tradisional biasa menggunakan daun gugur Loba Manu (Symplocos fasciculata) yang ditumbuk sehingga menjadi serbuk. Masih terdapat bahan-bahan alami lainnya yang digunakan dalam proses pewarnaan, seperti minyak Kemiri (Aleurites moluccana) yang digunakan dalam proses perminyakan yang dicampurkan dengan daun loba, daun pacar dan daun widuri dengan cara pencelupan hingga minyak kemiri tersebut habis, maksud dari perminyakan ini agar warna dapat cepat masuk.
Pada masyarakat Ndona khsusunya di Desa Manulondo dan Kelurahan Onelako dikenal 16 ragam motif kain tenun : Motif Jara Nggaja, Nggaja Sedetu, Nggaja Manu, Jara, Mata Karara, Soke Mata Ria, Soke Mata Lo’oSoke Mata Modhe, Soke Belle Kale, Pea Kanga, Rote Rego, Rote Koba, Rote Kopo, Mangga, One Mesa dan Semba.
Proses pembuatan tenun ikat di hampir sama dengan daerah lain di Indonesia yakni menggunakan alat tenun sederhana dan pewarna alami. Proses pembuatan tenun ikat secara tradisional yaitu: Woe Lelu/menggulung benang, Dao Go’a/merentangkan benang lungsi, Meka Pette/ mengikat benang, Podo Ngili/pencelupan benang, Redu Perru/mencabut tali gebang, Pusi Mina/perminyakan, Kekku Toro/pencelupan warna merah, Dao Go’a/merentangkan benang, Pili Perru/mengatur benang Ae Ti/memberi kanji, dan Seda/menenun, 3) Makna ragam hias biasanya dikaitkan dengan penggunaan dalam upacara adat yang ada. Jenis ragam hias Nggaja dimaknai sebagai lambang kendaraan para dewa, ragam hias Jara dimaknai sebagai lambang kendaraan para arwah dan ragam hias semba dimaknai sebagai lambang kebesaran para Mosalaki dan Atalaki. Fungsi tenun ikat memliki dua fungsi yaitu fungsi pasif sebagai hiasan dan fungsi aktif dapat dilihat dari beberapa aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial dikenakan saat upacara adat, aspek religi dikenakan pada saat upacara keagamaan, aspek ekonomi sebagai sumber penghasilan keluarga dan aspek estetika memiliki nilai yang tinggi dilihat melalui proses pembuatannya yang rumit.
Sebagai contoh pada lawo (sarung) Nggaja Jara dan Lawo Mangga adalah motif tenun ikat Lio di kampung Ndona. Dua-duanya masuk dalam kasta berbeda dan punya arti tersendiri. Motif Nggaja Jara terkenal yang paling susah pembuatannya. Nggaja berarti gajah dan Jara artinya kuda. Nggaja dan Jara berhadap-hadapan dalam satu motif. Sarung tenun motif Nggaja Jara dipakai untuk melayat dan untuk memenuhi undangan kawinan. Saat melayat kain harus dipakai terbalik. Artinya kepala Nggaja dan Jara harus menghadap bawah. Mereka percaya gajah dan kuda adalah kendaraan para dewa. Roh jahat bisa ikut menebeng dan gampang merasuk saat suasana berkabung. Jika salah pakai sama saja dengan mengundang roh jahat untuk datang.
Ada lagi ikat bermotif Lawo Mangga,” Motif dari kain ini bisa berbeda-beda dan pembuatannya tidak rumit. Harkat motif ini sama dengan pakaian sehari-hari dan dianggap tidak sopan jika dipakai dalam acara pernikahan. Jika datang pada acara tersebut warga Ndona memakain sarung motif Lawo Mangga, pasti akan diperhatikan seluruh tamu. Mungkin rasanya sama jika kita datang pesta pernikahan memakai celana pendek.
Dalam perkembangannya dengan arus modernisasi yang kian pesat, pemerintah daerah menggalakan dan mewajibkan aparat pemerintah, lembaga pendidikan dan swasta untuk memakai pakian motif daerah setiap hari kamis. Namun ditengah gempuran kain tekstil modern sudah makin nampak motif-motif tenun ikat ende lio diikuti atau dapat dikatakan dijiplak oleh produk tektil modern. Dengan bahan kain yang halus, tipis dan simple, beberapa masyarakat ende lio sendiripun lebih memilih bahan kain tersebut untuk dijadikan baju ataupun model pakian lainnya. Inilah pergeseran yang perlu diwaspadai dan harusnya pakian daerah yang diwajibkan berasal dari kain tenunan ikat asli bukan kain motif tenun ikat. Karena kain motif tenun ikat saat ini sudah dijiplak oleh produk-produk tekstil apalagi motif –motif tenun ende lio khusunya belum dipatenkan sebagai produk asli ende lio
Dengan melihat fenomena tersebut tradisi tenun ikat tradisional dan produk kain tenun perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, karena tradisi ini merupakan sebuah ikon yang dapat ditonjolkan untuk Kabupaten Ende dan bahkan memiliki nilai jual hingga ke mancanegara. Banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses tenun ikat tradisional. Wisatawan dari Jepang, Inggris, dan Amerika, Australia pernah datang untuk menyaksikan kegiatan tenun ikat tradisional, dan wisatawan tersebut lebih menyukai tenun ikat tradisional yang menggunakan pewarna alami dibandingkan dengan penggunaan pewarna tekstil seperti naptol meskipun warna kain tenun dengan pewarna alami tidak secerah kain tenun dengan pewarna tekstil, selain itu, hasil tenun ikat tersebut banyak dibeli untuk dibawa pulang oleh wisatawan asing sebagai buah tangan, ini berarti kain tenun ikat tradisional memberikan tambahan penghasilan bagi penenun. Harga kain tenun ikat tradisional antara Rp. 100.000,- dalam bentuk selendang dengan motif yang beragam,dan harga termahal dapat mencapai Rp. 5.000.000,- dalam bentuk sarung perempuan.
Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin jika produk tenun ikat dikemudian hari akan terasing dinegerinya sendiri jika warganya tidak peduli dan dengan hasil karya daerahnya sendiri. Sehingga upaya mempatenkan motif tenun sangatlah urgen dan mendesak dan pemerintah perlu melakukan langkah progres dengan membuat aturan yang spesifik bukan hanya sekedar berpakaian motif daerah tetapi dengan kain tenun ikat asli.
OLEH: IHSAN DATO
Sumber :
ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPKK/article/view/2442
ekspedisiflorafauna.blogspot.com/2013/.../tenun-ikat-tradisional-
mozalora.blogspot.com/2013/11/tenun-ikat-ende-lio
m.femina.co.id/webForm/content/contentDetail.asp
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya