Sabtu, 07 November 2015

MENELUSURI JEJAK ISLAM DI NDONA

[caption id="attachment_244" align="alignnone" width="300"]UAMT ISLAM NDONA PADA SAAT IDUL FITRIH UAMT ISLAM NDONA PADA SAAT IDUL FITRIH[/caption]

Menapaki Jejak Islam di Ndona maka pengkajiannya tidak terlepas dari sejarah masuknya islam di NTT, Pulau Flores dan Ende khususnya. Meski hanya coretan mini, namun ulasan ini mencoba memberikan sedikit lembaran misteri peristiwa masa lampau. Karena itu, pada awal pengantar ini penulis ingin menyampaikan agar setiap pembaca dapat memberikan kontribusi pemikiran menyempurnakan isi jika dalam tulisan ini terdapat kekurangan.

Artikel kecil ini tidak bermaksud menciptakan pertentangan dan klaim kebenaran suatu sejarah maupun dari sisi penyebaran agama akan tetapi mencoba mengurai dan menggali benang sejarah yang masih tersembunyi yang seharusnya diwariskan kepada setiap generasi. Minimnya literatur dan penuturan-penuturan lisan sehingga tulisan ini masih dalam konteks menggali atau menelusri jejak masuknya agama Islam di Ndona. Meskipun di satu sisi jejak peradaban Islam di Ende umumnya belum terungkap dengan jelas namun ini hanya merupakan langkah awal untuk memulai sebuah pengkajian.

Jauh sekitar abad 21 yang lalu sebelum Portugis masuk ke Pulau Flores dan di Ende khususnya telah ada penduduk yang menganut agama islam. Mengutip hasil penelitian dari penulis buku tentang sejarah Islam di NTT, Munandjar Widiyatmika bahwa agama Islam sudah hadir di Ende dan Pulau Flores sekitar abad ke-15 atau sekitar tahun 1500-an.

[caption id="attachment_245" align="alignnone" width="300"]UMAT ISLAM NDONA DALAM SHALAT IDUL FITRIH UMAT ISLAM NDONA DALAM SHALAT IDUL FITRIH[/caption]

Penyebaran agama Islam ini pertama dilakukan ulama-ulama pedagang dari Arab, Jawa, Bima, Ternate dan Sulawesi (Bugis, Bone, Gowa) yang kemudian berbaur dan tinggal dengan penduduk setempat dan menyebarkan agama Islam hingga sampai ke Wolowona dan Ndona. Tidak diketahui persis siapa yang membawa agama islam di Ndona dan siapa yang pertama kali memeluk agama islam di Ndona. Namun dari penuturan turun temurun bahwa sejak dahulu kala orang Ndona sudah menjalin hubungan kerja sama dengan orang Ende.

[caption id="attachment_246" align="alignnone" width="300"]UMAT ISLAM NDONA DALAM SHLAT IDUL FITRIH DI MASJID AL ANSHOR NDONA UMAT ISLAM NDONA DALAM SHLAT IDUL FITRIH DI MASJID AL ANSHOR NDONA[/caption]

Menengok Dengan Perkembangan Islam di Ende

Dalam buku Kapita Selecta NTT, 2007, tertulis, bahwa pada abad ke 19, Kerajaan Ende, Nangapenda dan Ndona telah menjadi kerajaan Islam. Raja dan para penduduknya telah memeluk agama islam. Artinya data tersebut berpijak pada tahun 1900-an dimana para penduduk yang berada di pesisir pantai dan sekitarnya sudah memeluk agama Islam dan saat itu sudah terjadi gesekan-gesekan dengan Belanda.

Namun jika mengikuti ulasan Satoshi yang mengemukakan bahwa pada abad ke 15 Ende sudah menjadi kerajaan Islam; "Pendiri kerajaan Ende adalah seorang pria dari Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Ende. Sebab itu ia diberi kekuasaan dan hak-hak atas tanah Ende oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia mendirikan dinasti Ende (Kerajaan Ende). Ia adalah raja pertama bernama Djari Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari Djawa adalah Raden Husen, seperti nama Islam Jawa.

Pada orde ini, kerajaan Ende berdiri secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh Portugis maupun Belanda. Namun kerajaan ini tidak berkembang karena sistem kerajaan yang pada waktu itu tidak dikelola dengan baik, sehingga terjadi stagnasi dalam waktu yang cukup lama.

Mungkin akan terdapat perbedaan versi tentang kehadiran Djari Djawa khususnya, namun bisa saja dikatakan bahwa dimasa tersebut Islam sudah berkembang di Ende dan dimasa itu pula telah terjadi hubungan antara masyarakat setempat.

Sementara itu FX. Sunaryo dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pada tahun 1614 dari Pulau Ende yang sebagian penduduknya masih bergama Kristen, terjadi penculikan terhadap tokoh masyarakat setempat yang menjadi pemimpin umat kristen di Pulau Ende saat itu, yaitu Salvador Carvalhaes, seorang guru agama katolik. Kedua, Pedro carvalhaes (pemimpin umat), Yang ketiga Manuel da Lima, berusia 40 tahun juga pemimpin umat, ketiganya di culik oleh umat islam Pulau Ende dan dibuang ke Volowona (Wolowona) yang berada dalam wilayah Ndona. Di sana orang-orang islam yang ada di wolowona memaksa ketiganya agar membuang agama mereka dan masuk agama Islam. Ketiganya tetap menolak dan akhirnya di bunuh (Sejarah Kota Ende, FX Soenaryo dkk, 2006 ).

[caption id="attachment_247" align="alignnone" width="300"]UMAT ISLAM NDONA DALAM DAKWA KEISLAMAN OLEH KIYAI ALIFUDIN UMAT ISLAM NDONA DALAM DAKWA KEISLAMAN OLEH KIYAI ALIFUDIN[/caption]

Dari ulasan di atas apakah dapat dikatakan bahwa Islam sudah ada di Ndona sebelum tahun 1614?.

Masa Politik Etis Belanda

Hal ini berlanjut hingga berjalannya politik etis Belanda dengan di angkatnya Raja Bhaki Bani yang beragama Islam (dalam versi Belanda Mbaki Mbani) sebagai Raja Ndona yang dibuktikan dengan dokumen Belanda bernomor Id. 10 October 1917 No.21 yang munguasai Landscap Ndona.

Dari penuturan para tetua umat muslim Ndona, mengatakan bahwa masjid yang berdiri pertama kali di Ndona yaitu di Wolowona. Jika setiap bulan ramadhan setelah shalat Maghrib para orang tua dan para pemuda dari beberapa kampung yang ada di ndona akan pegi ke Wolowona untuk melaksanakan shalat tarawih meskipun harus berjalan kaki dengan menempuh jarak 3 km. Di Masjid tersebut sambil menunggu sahur mereka akan membaca debaan ataupun melakukan dzikir hingga menjelang sahur baru mereka kembali ke rumahnya masing-masing. Setelah itu berdiri satu buah Musholah di Nualolo  dengan Imam Pertama Bapak Abdurahman Djuma (alm). Musholah ini dimanfaatkan untuk umat dari kampung Nualolo, Nuakota, Radawuwu, Koponio dan Kanakera. Namun karena semakin bertambahnya umat islam saat itu, Musholah tersebut dirobohkan dan  didirikan kembali Masjid di Kanakera yang bernama Masjid Baiturahman Kanakera dan Imamnya masih Imam pertama Bapak  Abdurahman Djuma (alm). Kemudian dibangun pula Musholah di Nuakota dan seiring pertumbuhan umat dan perkembangan sosial  dibangun beberapa Masjid dan Musholah di Ndona yang bangunannya masih utuh hingga kini. Selanjutnya di tahun 1990-an dibangun Masjid Jami Al Anshor Ndona yang berada di Radawuwu.

Dengan penuturan-penuturan diatas apakah dapat dikatakan Ndona merupakan salah satu Kerjaan Islam.? Tentu akan muncul sekian banyak kemungkinan karena sebelum berbentuk kerajaan, di Ndona sudah ada Mosalaki dan Ria Bewa dengan wilayah Kekuasaanya masing-masing. Dalam ([suchtelen-21]: 85) mengatakan pada tahun 1909 Mbaki Mbani (Bhaki Bani) merupakan orang yang dekat dengan Pemerintah Belanda. Beliau melakukan pendekatan-pendekatan ke beberapa Mosalaki yang ada di Ndona terkait dengan penataan administrasi wilayah. Dalam pertemuan di wolowona dan atas kesepakatan beberapa Mosalaki, Bhaki Bani ditunjuk sebagai Kepala Landscap Ndona. Hingga diterbitkannya dokumen bernomor Id. 10 October 1917 No.21 yang mengangkat Beliau sebagi Raja Ndona.

[caption id="attachment_209" align="alignnone" width="300"]Rumah/ Istana Raja Ndona Bhaki Bani Rumah/ Istana Raja Ndona Bhaki Bani di wolowona[/caption]

Di sisi lain pada saat itu telah masuk agama Katolik dan sebagian penduduknya telah menganut agama Katolik dengan dibangunnya Pusat Misi Prefektur Apostolik di Ndona dan sekolah pada tahun 1915/1916. Menurut riwayat dari beberapa tetua masyarakat Ndona bahwa lahan pembangunan Misi/Keuskupan tersebut di wakafkan oleh Tuan tanah yang sudah beragama Islam.

Selanjutnya jejak peradaban Islam juga dapat kita temui dalam kisah Nyata tentang Ria Rago pada tahun 1923 dan kemudian 7 tahun kemudian difilmkan oleh P. Simon Buis dan P. P Beltjens SVD pada tahun 1930. Secara garis besar film ini mengisahkan seorang Pria Muslim yang bernama Dapo Doki dari Nua (Kampung) Radawuwu yang hendak menyunting Ria Rago putri dari Rago Da'O yang bermukim di Nuanelu. Dapo Doki mengutus Haji Dasa sebagai juru bicara untuk menemui Ayah Ria Rago dengan maksud melamar Ria sebagai Istrinya. Namun Ria Rago menolak pinangan tersebut hingga akhirnya meninggal karena sering disiksa oleh orang tuanya.

Terlepas dari plus minusnya, cerita sekilas ini menandakan bahwa pada tahun tersebut di Kampung Radawuwu islam sudah berkembang. Akan tetapi kisah dalam film tersebut hanya sebagai sebuah rujukan yang terdokumentasi yang konon katanya view (gambar) diambil pada lokasi asli.

[caption id="attachment_219" align="alignnone" width="300"]Kampung Nuanelu Ndona dalam pengambilan gambar film ria rago Kampung Nuanelu Ndona dalam pengambilan gambar film ria rago dan tampak pemeran Haji Dasa mengenakan kopiah putih di Kepalanya[/caption]

Dari uraian- uraian singkat di atas belum menjadi suatu konklusi sebagai suatu jawaban atas misteri jejak peradaban agama islam di Ndona. Masih perlu sebuah usaha untuk mengungkap kembali jejak-jejak yang masih kabur. Dengan ketiadaan dokumen-dokumen pendukung maupun minimnya pengetahuan lisan diperlukan pikiran bersama untuk menjadikan suatu dokumen pewaris bagi generasi yang akan datang.

Pikiran Penutup

Sebagai penutup saya coba mengutip kata-kata Daniel Dhakidae bahwa beberapa saran kecil sebagai pegangan bagi kita untuk mengkaji berdasarkan pengalaman sederhana dalam meneliti local history di satu wilayah kecil. oral history (tuturan lisan) adalah salah satu sumber terbesar dalam meneliti masalah sejarah. Judul yang agak meremehkan di atas semata-mata bertolak dari keangkuhan bahwa sejarah hanya dalam bentuk tertulis, sedangkan sejarah lisan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun kita menolak keangkuhan ini, namun saatu kenyataan sama sekali tidak bisa dit tolak karena, sejauh pengetahuan saya, di luar itu tidak ada kelompok masyarakat ndona yang memiliki dokumen tertulis. Yang tersedia semata-mata oral history.

Namun oral history perlu dipakai dengan ekstra hati-hati. Nilai positif dari oral history adalah rekaman yang berada di dalam collective memory dari masyarakat yang boleh dikatakan “tidak memiliki sejarah”. Namun, collective memory tersimpan dengan rapih dalam beberapa tempat berikut ini:

Individu-individu yang tua maupun yang muda karena masing-masing memperoleh warisan tradisi lisan turun-temurun. Meskipun boleh dikatakan bahwa semua memiliki itu akan tetapi para local genius adalah orang-orang yang karena pengetahuan dan wibawa adat bisa diandalkan sebagai sumber yang bisa dipegang. Dengan demikian local knowledge bisa dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Di sini pun perlu hati-hati karena wibawa pengetahuan seorang narasumber lokal tidak cukup, karena harus disertai pula oleh wibawa moral sehingga reliabilitas bisa menjadi pegangan para peneliti (itulah kata Daniel Dhakidae budayawan dan peneliti senior dari NTT)

Wasalam. Wallahu a’lam bish-shawabi

OLEH : IHSAN D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya