Manusia mengenal sebuah bilangan dan sistemnya tidak muncul dengan tiba-tiba. Ia merupakan salah satu hasil budi dan daya dari manusia yang sering dikenal dengan budaya yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan. Tulisan ini mencoba mengangkat suatu budaya masyarakat yang berasal dari etnis ende lio terkait dengan sistem bilangan yang sudah dikenal secara terun temurun. Penulis menyadari tulisan belum sempurna dan mungkin akan terdapat perbedaan dalam pandangan dan penuturan dari pembaca khusunya putra-putri dari etnis ende lio sehingga saran, koreksi dan pendapat pembaca akan memperkaya pengetahuan kita bersama tentang budaya ende lio.
Kita ketahui bersama bahwa Kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.
[caption id="attachment_15" align="alignnone" width="2000"] orang-orang dihiutng dengan saimu, imu rua, imu telu dan seterusnya (kegiatan penghijauan di desa manulondo ndona)[/caption]
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Salah satu budaya local masyarakat adalah dalam sistem bilangan yang dalam penyebutan dimasing-masing daerah ataupun suku berbeda-beda. Hal ini juga ada pada masyarakat suku ende lio. Jauh sebelum masyarakat mengenal sistem bilangan modern baik dari sisi penjumlahan, perkalian, pembagian maupun pengurangan, masyarakat lokal sudah mengenal dan memiliki sistem perhitungan bilangan sendiri. Sistem bilangan ini tidak hilang sekalipun masyarakat sudah berada pada zaman modern namun dari sisi penyebutan maupun perhitungan masih tetap digunakan dari generasi ke generasi.
Masyarakat ende lio mengenal sistem bilangan yang dalam bahasa matematikanya sebagai bilangan asli. Sistem bilangan asli merupakan suatu konsep yang paling sederhana dan termasuk konsep pertama yang bisa dipelajari dan dimengerti oleh manusia untuk memberi symbol dari suatu benda yang dihitung. Dalam masyarakat etnis ende lio sistem bilangan asli dimulai 1 sampai dengan sepuluh yang dalam bahasa lokalnya sebagai berikut ; Esa (satu), Sa rua (dua) telu/tezu (tiga) wutu/sutu (empat) lima/dzima (lima) lima/dzima esa (enam) lima/dzima rua (tujuh) rua mbutu/wutu (delapan) tera esa (Sembilan), sembulu/sembudzu(sepuluh).
Sedangkan untuk sistem bilangan 11 ke atas akan menggunakan dengan bilangan sepuluh (sembulu/sembuzu) dan satu (esa) sebagai patokan yang dipautkan dengan bilangan asal itu sendiri. Misalnya 11 (sembulu sa esa) 12 (sembulu esa rua) 13 (sembulu esa telu) dan seterusnya hingga bilangan 20 yang diambil dari bilangan 10(sembulu) dan 2 (rua) dengan penyebutan mbulu rua). Pada penyebutan bilangan 20, 30, 40 hingga 90 sistem bilangan asli yang digunakan masih berpatok pada bilangan satu (esa, rua, telu) dan seterusnya.)
Sedangkan untuk sistem bilangan ratusan dalam penyebutannya dikenal dengan istilah ngasu (ratus), ribuan dikenal dengan istilah (riwu).
Sistem bilangan sebagai symbol ini akan berbeda dalam penyebutannya dengan obyek benda yang akan dihitung. Jika penyebutan pada obyek orang akan disebut imu. Misalnya sa imu (satu orang) imu rua (dua orang) dst. Jika dalam penyebutan obyek daun/lembar disebut dengan wunu (sewunu/satu lembar), wunu rua (dua lembar). Jika obyek perhitungan badan misalnya jari akan disebut kanga (misalnya); satu jari (sekanga), dua jari (kanga rua) dan seterusnya. Jika obyek bilangan berkaitan dengan obyek binatang maka disebut dengan eko. Misalnya satu ekor (se eko) dua ekor (eko rua), tiga ekor (eko telu) dan seterusnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam sistem bilangan maupun sistem perhitungan pada etnis ende lio juga bergantung pada jenis obyek yang akan dijadikan sistem perhitungan bilangan.
Dari uraian kecil ini harapannya akan ada riset lanjutan dari kelompok eksakta maupun gabungan antara kelompok eksakta dan kelompok sosial. Hasil Riset akan menjadi sebuah perbendaharaan local maupun nasional baik dari segi sosial budaya maupun dalam segi dunia eksakta bahwa dalam masyarkat local sistem bilangan dan perhitungan sudah dikenal sejak dahulu dan dapat dijadikan pengetahuan bagi masyarakat local itu sendiri maupun public yang hendak mengetahui kebudayaan suatu suku.
Semoga bermanfaat
Oleh : IHSAN. D
Sumber
http://www.berpendidikan.com
https://id.wikipedia.org/wikihttps
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya