Dalam kehidupan masyarakat terdapat nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom) yang menjadi pengetahun turun temurun. Namun seiring perkembangan zaman beberapa nilai kearifan lokal ini dapat dikatakan perlahan mulai terkikis seiring putaran waktu.
Kearifan lokal atau kearifan tradisional sendiri merupakan pengetahuan yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat suatu suku dalam mengolah dan menata lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya, yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian hidup dan lingkungannya
Tulisan ini mencoba untuk menyajikan sedikit gambaran tentang sistem perhitungan musim pada masyarakat etnik lio yang merupakan salah satu etnik yang ada di kabupaten Ende. Sistem perhitungan musim ini dalam perkembangan mulai hilang dan bahkan dapat dikatakan telah ditinggalkan seiring dengan dikenalnya sistem perhitungan modern yang dikenal dengan kalender masehi dan prakiraan-prakiraan cuaca yang secara modern dikemas dalam suatu istilah meteorologi. Bukan hendak kembali pada masa lalu atau zaman megalitikum, namun hal ini perlu diangkat untuk dijadikan bahan pengetahun bagi generasi saat ini bahwa pada zaman dahulu nenek moyang orang lio telah mengenal sistem kalender dalam segala kehidupan mereka.
Secara spesifik, kalender musim etnik lio ini mungkin akan berbeda versi dari pengetahun-pengetahun anak keturunan orang lio sendiri, namun beberapa masukan dan perbaikan dari pembaca, penulis yakin akan memperkaya pengetahuan bersama bahwa sumber daya local wisdom sangatlah luas dan dalam.
Kalender musim etnik lio menurut Orinbao (1992) dalam Munandjar Widyatmika antara lain :
- Wula Leru Hera. Masa ini berlangsung sekitar bulan Agustus. Pada bulan ini sinar matahari yang sangat terik atau dapat dikatakan sebagai masa musim kemarau. Daun-daun pepohonan berguguran. Masa ini biasanya akan dilakukan persiapan pembukaan lahan baik yang baru maupun yang lama
- Wula Nggaka. Masa ini berlangsung sekitar bulan September dan ditandai dengan terbangnya burung gagak yang berkeliling dan dijadikan isyarat agar petani segera membakar lahan karena musim penghujan akan segera tiba.
- Wula Roko Riwu. Masa ini sekitar bulan Oktober yang mengisyaratkan masyarakat untuk segera bangun atau bangkit dari masa istrahatnya. Pada masa ini ditandai dengan gemuruh petir sebagai pertanda akan segera turun hujan dan petani mulai menyiapkan lahannya untuk mulai bercocok tanam.
- Wula Mapa. Masa ini berlangsung pada bulan November yang ditandai dengan adanya gumpalan awan yang berderet-deret sebagai tanda hampir dimulainya penanaman benih dan hujan mulai turun perlahan-lahan.
- Wula Nduru. Masa ini sekiar bulan Desember yang ditandai dengan penanaman bibit khususnya. Masa ini ditandai dengan hujan dan angin yang dipercayai sebagai penyubur tanaman.
- Wula Bako Lo’o. Masa ini diperkirakan sekitar bulan Januari. Masa ini sebagai musim lapar sedang (bare lo’o) yang ditandai persediaan makanan yang mulai menipis dan masyarakat harus berhemat agar tidak kelaparan.
- Wula Bako Ria. Masa ini merupakan musim lapar besar yang biasanya pada bulan Februari. Masa tersebut ditandai dengan kekurangan persediaan makanan karena belum dipanennya hasil ladang dan masyarakat mulai mencari makanan alternatif.
- Wula Fowo. Masa ini berlangsung sekitar bulan Maret. Pada masa ini merupakan musim angin yang kencang dan sudah mulai ada tanda-tanda hasil dari lading namun masa panen belum dimulai.
- Wula Balu Re’e. Masa ini merupakan masa marabahaya yang diperkirakan sekitar bulan April. Pada masa ini angin lebih kencang disertai hujan dan petir yang menyambar sehingga masyarakat diminta berhati-hati pada masa ini. Pada masa ini pula tanaman diladang sudah mulai siap untuk dipanen sehingga masyarakat perlu melakukan persiapan upacara untuk mengucap rasa syukur.
- Wula Balu Ji’e. Masa ini merupakan bulan bahagia dan diperkirakan pada bulan mei. Masyarakat merasa lega dan bahagia karena sudah melewati tantangan dan hasil tanaman sudah dapat dipanen. Pada masa ini biasanya digelar pesta atau upacara sebagai ungkapan rasa syukur kepada leluhur.
- Wula bobo. Masa ini sekitar bulan Juni. Pada waktu ini masa panen hasil tanaman atau hasil ladang telah usai dan hasil panen mulai disimpan dilumbung.
- Wula Mala. Masa ini berlangsung sekitar bulan Juli. Masa ini mulai digunakannya persediaan makanan yang ada dilumbung dan
Sistem perhitungan kalender adat ini mungkin dari sisi nama ataupun penetapan waktu antara sub etnik lio ada yang berbeda namun dalam siklus hidup hampir sama yang berpijak pada bulan (wula), matahari (mata leja) , serta pergantian siang (leja ) dan malam (kobe). Sehingga sebelum dikenalnya kalender masehi, pada masyarakat etnik Lio telah mengenal kalender tersendiri.
Secara umum sistem perhitungan kalender local ini berpatok pada siklus putaran bulan (wula) sebagai pijakan dalam bercocok tanam maupun dalam mengatur siklus hidupnya. Pada masa-masa sesuai siklus putaran bulan biasanya pada masyarkat etnik Lio akan diselenggarakan beberapa upacara adat misalnya Upacara mengaduk bibit, upacara ka po,o, upacara ka poka, uacara joka ju, upacara pire/po te’u, dan beberapa upcara lain yang dilakukan berdasarkan siklus bulan dan melihat fenomena yang terjadi ditengah masyarakat. Ritual joka ju (tolak bala) misalnya, menurut tradisi adat wajib hukumnya dilaksanakan sebagai upaya untuk menolak bala, mara bahaya yang akan atau sedang menimpa komunitas dan alam lingkungan setempat, demikian juga dengan ritual-ritual dalam pola bercocok tanam dan perawatan hutan, pandangan local menegaskan bahwa hutan dan alam raya wajib dilindungi oleh keserakahan manusia sehingga dapat memberihkan penghidupan bagi masyarakat setempat melalui pola bercocok tanam. Sehingga dalam siklus waktu yang sudah ditentukan maka akan dilaksanakan upacara atau ritual-ritual tersebut sesuai dengan hukum adat setempat.
Dalam menentukan siklus bulan, pada masyarakat etnik lio melihat dengan fenomena alam sebagai symbol bahwa saat tersebut memasuki bulan apa. Tanda tanda alam ini seperti suara burung, suara-suara binatng lain, munculnya binatang-binatang dari hutan, dedaunan pohon yang bergugur, gumpalan awan, cahaya bulan dan matahari dan masih banyak tanda-tanda alam yang dijadikan patokan untuk menentukan masa dalam siklus setahun.
Pada penentuan siklus ini, masyarakat etnik lio memanfaatkan kearifan lokal tidak hanya dalam bidang pertanian atau mengolah lahan dan hasil usaha pertanian, akan tetapi kalender musim ini juga dijadikan patokan dalam kegiatan-kegiatan lainnya seperti pembangunan tempat tinggal, pembangunan rumah adat, kegiatan melaut atau sebagai nelayan, maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dijadikan patokan umum saat itu. Sehingga kearifan lokal dalam kalender musim ini dijadikan patokan umum dalam berbagai bidang kehidupan.
OLEH: IHSAN D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya