Minggu, 29 November 2015

BANGGA MENJADI ATA ENDE LIO; ANTARA KEMAJEMUKAN DAN INTOLERANSI

TARIAN GAWI NDONA

Gadis-gadis berjilbab dan Para Suster Wajah Kudus Ndona menari tandak (gawi) dalam sebuah acara di Ndona

Tulisan ini tidak bermaksud menunjukan sikap primordial, namun terdapat suatu potensi yang ada di bumi kelimutu (Ende Lio) yang harusnya menjadi cermin bagi setiap warga negara. Bukan hanya karena keindahan alamnya dengan danau kelimutu ataukah karena pancasila lahirnya di Ende namun karena realita kehidupan masyarakatnya yang majemuk.

Akhir-akhir ini isu-isu berbau SARA dan lebih khusus sentiment agama kembali mencuat di Indonesia. Kasus Tolikara (Papua) dan kasus Singkil (Aceh) mengisi lembaran perjalanan bangsa di 2015.

Sejak bergolaknya ancaman ISIS di dunia, Indonesia juga diterpa ancaman dari salah satu organisasi yang mengatasnamakan agama merebak hingga ke daerah dan bahkan di NTT. Beberapa waktu lalu ada dugaan masuknya oknum-oknum yang dikaitkan dengan organisasi ISIS. Beberapa elemen daerah seperti para tokoh agama yang tergabung dalam FKUB, Forkopimda dan beberapa elemen lainnya dengan tegas menolak ISIS masuk NTT.

Kemudian pada medio 2015 disharmoni berbau SARA dan lebih khusus sentiment agama kembali mencuat di Indonesia. Kasus Tolikara (Papua) dan kasus Singkil (Aceh) mengisi lembaran perjalanan bangsa di 2015.

Pada media sosial jika ada postingan yang berkaitan dengan kedua kasus dan bahkan tentang ISIS sangat nampak statement-statement yang mendukung dan bahkan terkesan provokasi. Perang opini pada dunia maya, seakan-akan membenarkan tindakan-tindakan tersebut. Meskipun ada nitizen yang berusaha menjadi penengah dan menolak, namun bukan tidak mungkin pada dunia nyata statement-statement yang berkaitan dengan sentimen agama dapat memperkeruh suasana kehidupan masyarakat pada suatu wilayah.

Andaikan fenomena tersebut terjadi di NTT dan bumi kelimutu (Ende Lio) khususnya, entah seperti apa untuk mendeskripsikan kondisi masyarakatnya nanti. Masyarakat yang selalu menjaga toleransi bukan karena slogan dari pemerintah, masyarakat yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan kebersamaan mungkinkah dapat tercerai berai?

Apakah dalam satu komunitas masyarakat yang berbeda keyakinan harus saling bunuh membunuh? Apakah dalam satu keluarga antara Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ema-ana, ine-ana, ipa-imu, eda wuru, babo mamo, tuka bela, imu riu harus saling menjustice dan mengenyahkan anggota keluarga yang berbeda keyakinan?. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin hanya sekedar mimpi dan kekhawatiran, namun fakta di negeri seberang dan perang opini pada alam maya semoga tidak dibawa pada alam nyata orang Ende Lio khususnya.

Sudah kita ketahui bersama Ende Lio memiliki ideologi yang sama tentang Du’a Ngga’e sebagai rasa religiositas lokal, pandangan yang sama tentang sa’o ria, tubu musu keda kanga, pemahaman yang sama tentang turajaji, sua sasa, nggua tana watu, rasa yang sama sebagai satu turunan dalam konsep nge wa’u setuka, se ra, dengan pola hidup dan status sebagai Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ema-ana, ine-ana, ipa-imu, eda wuru, babo mamo, tuka bela, imu riu yang dikemas dalam budaya wurumana. Kita memiliki gerakan yang sama dalam satu irama dengan sodha yang termanifestasi dalam tarian gawi, kita memiliki prinsip yang sama dalam slogan wora se wiwi, nunu se lema, sa bhoka sa ate, boka ngere ki bere ngere ae, ndawi lima bou mondo kema sama.

Realita tersebut bukanlah kondisi yang diciptakan saat ini atau dibuat oleh kebijakan suatu pemerintahan namun itu adalah warisan budi dan daya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Ende Lio. Sebelum hadirnya agama-agama yang diakui Negara, budi dan daya tersebut sudah terpolarisasi dalam kehidupan nenek moyang kita dan mereka wariskan pada generasi penerusnya.

Inilah kekuatan kita orang ende lio yang juga tidak memandang ata mai (pendatang) dan ata mera (warga asli). Ende sebagai miniatur kehidupan bangsa yang majemuk telah mengilhamkan Presiden Bungkarno hingga lahirnya Pancasila. Sehingga dari Ende-lah Soekarno belajar tentang perbedaan dalam kehidupan dan keberagaman dalam agama yang melahirkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah yang menjadi kebanggaan bagi ata ende bahwa pemikir bangsapun belajar dari ende. Dari Ende-lah Soekarno menolak sistem Khilafah dalam menata kehidupan berbangsa dan benegara dengan merenung di bawah pohon sukun yang melegenda. Sehingga Soekarno-pun merasa dirinya “Ja’o Ata Ende”! (Saya orang Ende)!" Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952, sebagaimana dikisahkan kembali seorang 'bruder' SVD (bruder: biarawan Katolik) asal Ende.

Apakah Esa dalam bahasa ende hanya sebuah angka untuk sistem perhitungan? Rasanya tidak karena Esa selain dalam bahasa sansakerta juga dalam bahasa local Ende Lio yang artinya Satu merupakan pergulatan permenungan tentang suatu wujud yang Tunggal, tidak berbentuk". Esa yang dalam refleksi Bungkarno sebagai konsep untuk menyatukan suatu perbedaan keyakinan sebagaimana kehidupan ata ende lio saat itu. Ibarat pohon sukun, cabangnya banyak dengan berbagai bentuk namun berasal dari satu pohon, daunnya beruas tapi hanya ada satu pangkal.

Berdasarkan pemikiran besar dari sang proklamator tersebut, maka dalam kehidupan sehari-hari kita wajib menjunjung tinggi harmonisasi kehidupan diri dengan alam, sesama, nenek moyang, budaya, serta Tuhan sebagai penyelenggara kehidupan. Oleh sebab itu, apa yang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Ende bahwa Ende menjadi kota Toleransi tidak hanya sekedar slogan semata. Toleransi yang diakronimkan oleh Kementrian Agama Kab. Ende sebagai ”Tekad orang Lio Ende rukun aman nyaman sejahtera iklas” bukan hanya indahnya rangkain kata dalam suatu kalimat. Tapi dalam diri orang Lio Ende yang merupakan mayoritas penduduk Kota Ende, terpatri tekad yang kuat untuk hidup dengan rukun sekalipun di tengah perbedaan. Dengan rukun, tentu orang akan merasa aman dan nyaman. Tekad ini tidak sekedar slogan semata namun harus diikuti oleh semua lapisan masyarakat beragama penghuni bumi Ende Lio tercinta ini, sehinggga menjadi suatu gerakan bersama bahkan menjadi budaya untuk menciptakan suasana Ende yang rukun, aman, nyaman, sejahtera dan iklas.

Sehingga sepatutnya jika ada fenomena yang mengakibatkan disharmoni kehidupan bermasyarakat, para pemeluk agama, pemuka masyarakat, pemerintah dan pemuka adat bersatu padu menolak dan melawan bentuk intoleransi yang berbau sentimenisme tersebut.

Dengan fakta-fakta kehidupan ende lio sejak dahulu, maka sepatutnya kebanggan akan kehidupan di ende lio terpatri dan termanfestkan dalam diri setiap ata ende lio dimanapun berada dan memberi contoh bagi daerah lain. Seperti Soekarno-pun merasa dirinya “Ja’o Ata Ende”! (Saya orang Ende)!" Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952. Lalu bagaimana dengan Kita Ata Ende???

AKU BANGGA MENJADI ATA ENDE.

OLEH : IHSAN D.

Sumber Pustaka :

Marlin Batto/Kompasiana.com

Utama.seruu.com/r

 

 

Jumat, 27 November 2015

MENGENAL KERAJINAN ANYAMAN ENDE LIO

KERAJINAN ANYAMAN ENDE LIO.jpg

Anyaman merupakan salah satu jenis seni kerajinan tangan yang diperkirakan muncul sejak jaman neolitikum (zaman batu muda), ketika mata pencaharian masyarakatnya ialah bercocok tanam. Fungsi awal dibuatnya anyaman ialah buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anyaman yang muncul pertama pun belum serumit anyaman yang ada saat ini. Bahan standar pembuatannya pun murni dari alam. Masyarakat menggantungkan bahan bakunya dari hutan, yang saat itu masih banyak ditemukan. Bahan standar seperti rotan, daun dan akar menjadi favorit masyarakat saat itu sebab bisa dengan mudah dijumpai.

Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah Kabupaten Ende nenek moyang orang ende lio dalam peradabannya telah memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya yang bernilai tinggi arsitekturnya.

Salah satu karya yang pernah jaya adalah hasil-hasil karya anyaman seperti tikar, tas/rembi, nyiru, tempat pengisi bahan makanan, kotak sirih pinang dan lain sebagainya. Hasil anyaman ini meskipun masih ada yang menggunakan namun tidak dapat dipungkiri bahwa karena perkembangan zaman benda-benda tersebut telah tersisihkan. Masuknya produk-produk modern seperti baskom aluminium, nyiru plastic, tikar plastic, dan lain-lain mengakibatkan masyarakat kota bahkan di desa beralih kepada benda-benda tersebut. Sehingga karya-karya anyaman seakan hanya sebagai barang purbakala yang tidak bermanfaat.

Sebenarnya, anyaman tak hanya terbatas pada kerajinan tangan saja. Bisa kita lihat, masih banyak suku-suku di Indonesia nan bahkan dinding rumahnya terbuat dari anyaman. Tidak sporadis pula ada masyarakat perkotaan yang menggunakan anyaman bambu untuk memberikan kesan eksotis dan sederhana di rumahnya.

Membuat anyaman ternyata gampang-gampang susah. Pola yang ada pada anyaman, seringkali memuat pesan tertentu, sehingga ketika ada sedikit kesalahan dalam proses pembuatannya, maka harus diulang lagi sampai benar. Secara tak langsung, kerajinan anyaman bisa menjadi wahana pengenalan yang menghubungan masyarakat. Jika dilakukan secara berkelompok dengan skala besar, maka yang terjadi bukan hanya anyaman kerajinan saja, melainkan anyaman tali persaudaraan yang kuat. Kerajinan anyaman hampir bisa ditemukan di berbagai suku di Indonesia. Baik motif maupun bahan yang digunakan pun terkadang melambangkan karakteristik khas suatu daerah. Suku-suku di Indonesia menggunakan pola anyaman eksklusif sebagai identitas dan eksistensi mareka.

Kreasi tersebut juga ada pada nenek moyang orang ende lio yang juga memiliki kreatifitas dalam menganyam berbagai hasil anyaman walaupun saat itu masih dalam bentuk yang sederhana. Hal tersebut berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perasaan dan pengetahuan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada zaman itu.Untuk menunjang kelangsungan hidup, mereka membuat alat-alat dari bahan-bahan yang diperoleh di alam sekitar mereka.Sebagai contoh, kapak genggam dan alat-alat perburuan dibuat dari tulang dan tanduk binatang.

Bahan-bahan anyaman yang sering digunakan yaitu kulit bambu muda, wunu re’a/ daun pandan hutan; wunu koli/ daun lontar; kulit bhoka ino; Ngidho; Ua; Taga; Tali eko. Bahan tersebut diatas diolah menurut kebutuhan masing-masing jenis anyaman agar lancar dalam proses pembuatan dan awet dalam penggunaannya. Adapun produk hasil anyaman diantaranya yaitu:

Mbola terdiri dari tiga jenis:

MBOLA ROMBO

  • Mbola rombo
    Terbuat dari daun lontar dan bahan anyaman lainnya dengan empat sudut pada dasarnya dan permukaannya berbentuk bulat dilengkapi dengan tagli, digunakan untuk mengisi hasil tanaman dengan cara menjunjung di kepala oleh para wanita Ende Lio.

  • Mbola Gata
    Cara membuatnya seperti mbola rombo, hanya ukurannya lebih kecil digunakan sebagai tempat padi, beras, jagung dalam wuru mana wai laki.

  • Nora
    Bentuknya seperti mbola rombo hanya ukurannya besar dianyam dari daun lontar atau wunu re’a, sebagai tempat untuk mengisi hasil panen seperti padi, jagung, mete dll.



  1. Kadhengga :KEDHENGGA


Terbuat dari daun lontar dengan dasar enam sudut, tingginya ±15 cm, digunakan sebagai alat batu titi jagung dan menapis jagung yang sudah dititi menjadi 3 bagian yaitu: Puϋ – weni – wuϋ atau kasar – halus – bubuk.

  1. Kidhe:kidhe ende lio


Dianyam dari kulit bambu dan bentuknya ceper dan bulat, permukaannya dianyam dengan tali ngidho/ rata dan bulatan bila bambu agar menjadi kuat. Kegunaannya untuk menapis beras/ padi dan juga digunakan sebagai payung disaat hujan.

  1. Kadho :KADHO


Dianyam dari daun lontar dengan dasar enam sudut dan permukaannya berbentuk gerigi, gunanya untuk mengisi nasi/ nasi jagung disaat makan. Dan kuahnya diisi dengan tempurung sehingga menjadi istilah adat yaitu ke’a kadho yang berarti kaum keluarga atau suku.

  1. Wati :WATI


Wati dianyam dari daun lontar atau bhoka au dengan bentuk enam sudut hingga delapan sudut, dilengkapi dengan tutupannya dan gunanya untuk mengisi bekal, bibit tanaman, benang dan bahkan emas murni. Sehingga dulu ada istilah wea se wati (emas satu wati) Wati mempunyai bentuk sangat banyak dan adapula yang bermotif diantaranya wati woga, wati robha, wati wuga dan lain-lain.

  1. Kopa :kopa


Bentuknya seperti peti, digunakan untuk menyimpan pakaian lambu, luka, lawo, dianyam dari daun lontar dan bilah bambu yang dilengkapi dengan tutupannya dan ada juga dinamakan kopa wuga.

  1. Mbeka Weti:MBEKA WETI


Tempat sirih pinang/ kapur yang dianyam dari daun lontar dengan bentuk empat persegi, dibuat dari 2 susun dan bagian dalam dibuat laci-laci untuk menyimpan uang, pe’a bako dll.

  1. Mbeka/ Mbosa: Dianyam dari daun lontar, bentuknya seperti mbola gata hanya agak lonjong, dilengkapi dengan tali gantungan.Jenis anyaman ini disebut juga mbola doko.

  2. Rembi : Dianyam dari daun lontar dilengkapi dengan tali eko yang dipintal, bentuknya seperti tas gantung, digunakan oleh mosalaki Ria Bewa/ tua-tua adat saat upacara adat dan acara resmi lainnya.rembi dipakai disamping

  3. Supa : Bentuknya sangat kecil dilengkapi dengan tutupan, berbentuk bulat lonjong dianyam dari daun lontar untuk menyimpan barang-barang penting yang sangat berharga.

  4. Ripe/Nepe :


Berbentuk seperti dompet dianyam dari daun lontar, dilengkapi dengan tutupannya untuk menyimpan tembakau, dudu suänga, uang dll.

12.Te’e/Tikar:TE'E
Tikar dianyam dari daun lontar, dianyam dua lapis digunakan untuk alas tidur sedangkan tikar besar digunakan untuk menjemur padi, jagung, wete, keö, pega, lusi dll. Pengrajin anyam tikar yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu Teë Ndori dengan pinggir kain merah, Teë Reka.Teë Roga biasa membuat khusus tikar jemuran.Selain untuk tempat tidur dan alas jemuran, juga digunakan untuk alas duduk bagi tamu agung atau tamu yang sangat dihormati.

13.Lêpo:
Dianyam dari daun gebak atau daun boro untuk mengisi kapas, garam dapur dll.

14.Kikokiko
Bahan anyaman dari daun lontar, berbentuk segi empat digunakan untuk mengisi beras/ emping beras serta digunakan sebagai sarana upacara seremonial adat.

15.Raga
Terbuat dari kulit bambu dengan dasar empat sudut seperti mbola, dilengkapi dengan empat tali gantungan untuk tempat ikan dll.

  1. Bela Raga
    Bela terbuat dari anyaman rotan ua/taga untuk digunakan sebagai sarana yaitu wedhi raga.

  2. Sesa dan Notu Sesa : dianyam dari bhoka sedangkan notu dianyam dari kulit bambu, digunakan sebagai alat penangkap ikan, udang dan binatang air lainnya.

  3. Wuwu:


Keranjang besar berbentuk segi empat, dianyam dari bambu dilengkapi dengan pintu yang tidak dapat keluar, digunakan sebagai alat penangkap ikan laut.

  1. Ola Bao :


Ikat pinggang besar yang dianyam dari tali eko atau jenis tali lainnya digunakan sebagai ikat sarung luka/ ragi sewi lowe pada upacara adat dan acara resmi lainnya.

20.Rabha
Daun kelapa dianyam seperti tikar digunakan sebagai tempat duduk, tutu seda, tempat jemur ikan dll.

21.Kata:kata rembi
Keranjang yang dianyam dari daun kelapa, dilengkapi dengan tali gantung pikulan, sebagai tempat untuk mengisi hasil ladang, ayam dll. Ada beberapa jenis keranjang yaitu kata mapa, kata kowe, kata rabha, kata manu, kata rembi dll.

  1. Kaja/Gedek :KAJA-GEDEK


Anyaman yang berbahan dasar bambu untuk dijadikan dinding/plafon rumah dengan beraneka motif.

  1. Ola Bhabhe / Alat Kipas:OLA BHABHE


Dibuat dari dari kelapa atau daun lontar yang digunakan sebagai alat kipas, baik kipas api didapur ataupun kipas disaat cuaca panas.

  1. Nggobhe/ topi:


Tutup Kepala yang dianyam dari daun lontar maupun bambu wulu yang digunakan sebagai penutup kepala.

  1. Wolo/Tupa/Ketupat:


Anyaman dari daun kelapa yang berisi beras untuk dimasak atau biasa dikenal ketupat.

  1. Londa :


Anyaman dari daun berbentuk segi empat yang digunakan sebagai pengganti emas dan digunakan dalam upacara-upacara adat yang dikenal dengan sebutan wea londa.

Beberapa jenis kerajinan tangan orang ende lio ini mungkin masih banyak karena di masing-masing sub etnis ende juga memiliki kreasinya sendiri-sendiri. Sedangkan jenis kerajinan yang disbutkan diatas mungkin pula dari sisi penamaan benda berbeda pada orang ende lio namun yang menjadi kebanggaan bahwa kreatifitas ini adalah warisan para leluhur yang harusnya dikenal dan diteruskan oleh generasi peneurusnya.

OLEH ; IHSAN D.

Sumber Pendukung:

ooyi.wordpress.com

Rabu, 25 November 2015

AREJAWA, KULINER ENDE LIO YANG TERLUPAKAN

Arejawa Kuliner Khas Ende Lio

Sebuah kerinduan yang akhirnya terjawab. Malam 25 November 2015 setelah selesai shalat maghrib ketika sedang bersenda gurau dengan anggota keluarga, tiba-tiba ada tamu yang datang mengetuk pintu. Ternyata yang datang kakak (ka’e) tetangga sebelah rumah mengantar sepiring makanan dari pangan lokal. Setelah sekian lama tidak menikmati sajian yang biasa dibuat oleh almarhumah ibu, kini pangan lokal tersebut hadir didepan mata dan dengan warna khasnya yang kecoklatan dan itulah arejawa. Secara bebas arejawa dapat diterjemahkan sebagai nasi jagung. Namun arejawa yang satu ini bukanlah campuran antara nasi dan jagung.

Sambil menatap sepiring arejawa muncul pernyataan yang tertulis dalam otak, dizaman serba instan ternyata masih ada orang yang membuat dan memasak arejawa meskipun ditengah pergeseran menu makanan dari pangan lokal yang dibuat dengan cara tradisional dengan menu makan modern dengan proses yang modern pula.

Dimasanya panganan ini merupakan makanan pokok dan sebagai pengganti ubi yang dikemas dalam berbagai kreasi. Sedangkan nasi saat itu masih merupakan makanan bagi kelas menengah ke atas. Jika disearch pada mr. google mungkin sedikit atau tidak ada yang menemukan kuliner ini. Sehingga kuliner khas ini hanya segelintir orang yang mengetahuinya dan merasakannya. Dengan proses pembuatan yang memakan waktu panganan lokal ini seakan mulai ditinggalkan. Namanya tidak setenar jagung mbose, katemak atau jagung titi apalagi emping jagung. Karena proses yang lama dapat dikatakan bahwa arejawa perlahan mulai hilang dari kebiasaan lokal dan tidak lagi dijadikan sebagai makanan pokok.

Arejawa, merupakan kuliner lokal yang berasal dari daerah ende lio. Bagi generasi saat ini jenis makanan ini mungkin akan terasa asing mungkin karena belum pernah mendengar ataupun mencicipinya. Namun tidak bagi golongan tua karena makanan ini adalah makan asli yang diolah dari jagung. Terdapat dua jenis arejawa yaitu arejawa dengan bahan dasarnya campuran antara jagung dan kacang hitam dan arejawa dengan bahan campuran antara jagung dan beras.

Untuk menghasilkan arejawa, diambil dari jagung yang sudah tua yang disimpan dalam waktu yang lama kira-kira 2-3 bulan. Jagung tersebut dikupas kulitnya kemudian dikeluarkan bijinya atau pemipilan dari bonggol. Biji jagung dihancurkan dengan 2 buah batu yaitu batu besar sebagai landasannya dan batu kecil untuk menghancurkan yang dalam bahasa lokal disebut watupena hingga biji jagung tersebut seperti biji beras dan ada akan tepungnya. Cara lainnya jagung juga dapat ditumbuk menggunakan lesung. Jagung yang telah hancur seperti biji beras dan tepung lalu bersihkan agar dapat memperoleh kualitas yang baik.

Sebelum ditanak, terlebih dahulu kacang hitam/kacang merah direbus menggunakan periuk dari tanah hingga matang kemudian masukan jagung kedalam wadah tersebut dan diaduk-aduk hingga merata. Beberapa saat (kira-kira 45 menit) arejawa sudah mulai matang dan siap dihidangkan dengan paduan kuah santan ikan yang diasapi.

Arejawa dan Kuah Ikan Santan

Berdasarkan informasi dengan situs Wikipedia Jagung dinilai memiliki nilai gizi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nasi beras. Jagung lebih kaya akan vitamin (Vit. A, B1, B6, B12, C dan E), mineral (Folat, Kalsium, Fosfor, Natrium, Zink) dan serat. Dalam nasi jagung, gizi yang paling tinggi terkandung ialah Magnesium (Mg). Mengkonsumsi Magnesium membantu mengurangi kemungkinan terkena penyakit diabetes dan darah tinggi. Walaupun demikian, bagi mereka yang tidak cocok mengkonsumsi jagung (bahan-bahan yang diolah dari jagung termasuk nasi jagung) dapat menimbulkan flatus atau buang angin. Biji jagung kaya akan kandungan karbohidrat. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin.

Artinya arejawa dengan bahan dasarnya jagung memiliki manfaat bagi tubuh manusia, informasi mr google makanan ini ternyata memiliki dan menyimpan berbagai nutrisi lainnya yang dapat meningkatkan kesehatan tubuh anda. Setidaknya dapat disimpulkan ada 7 manfaat dahsyat jagung bagi kesehatan tubuh :

  1. Meningkatkan Kesehatan Organ Pencernaan. Kandungan serat yang cukup tinggi dalam jagung dapat membantu proses pencernaan makanan lebih lancar. Oleh karena itulah, berbagai masalah atau gangguan pencernaan seperti susah buang air besar tidak akan menyiksa anda lagi.

  2. Memperkuat Tulang Pada Tubuh Anda. Jagung ternyata mengandung nutrisi seperti magnesium, besi, tembaga serta fosfor. Berbagai nutrisi itulah yang dapat menutrisi tulang agar lebih kuat dan tidak mudah rapuh.

  3. Menjadikan Kulit Lebih Awet Muda. Antioksidan yang melimpah dalam jagung dapat membantu menutrisi seluruh jaringan kulit di tubuh anda. Jadi, bagi siapapnn yang berniat tampil fresh dan terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya, jagung bisa menjadi salah satu kuncinya.

  4. Menangkal Gejala Kurang Darah Atau Anemia. Kepala pusing merupakan salah satu indikasi bahwa seseorang terkena anemia. Jagung memiliki kandungan vitamin B serta asam folat yang berfungsi mencegah anemia yang cukup efektif.

  5. Meningkatkan Kesehatan Organ Jantung Anda. Jagung menyimpan nutrisi seperti vitamin C, karotenoid serta bioflavonoid yang berperan dalam mengontrol kadar kolesterol didalam darah serta meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh anda.

  6. Menyehatkan Organ Penglihatan Anda. Jagung mengandung sumber beta karoten yang mana merupakan pembentuk vitamin A didalam tubuh anda. Jadi, konsumsilah jagung dengan batas yang normal untuk membantu  mencukupi nutrisi yang dibutuhkan oleh organ mata anda.

  7. Pencegah Diabetes Yang Cukup Efektif. Kandungan fitokimia yang terdapat dalam biji jagung akan mengatur  penyerapan serta pelepasan hormon insulin didalam tubuh anda. Inilah yang menobatkan jagung sebagai salah satu makananan yang bergizi tinggi untuk mencukupi kebutuhan nutrisi pada tubuh semua orang.


nasi jagung

Jika difalshback dahulunya sumber pokok pangan penduduk NTT adalah jagung, bukan beras. Orang NTT dapat hidup sehat dengan makan jagung. Bahkan dengan jagung lokal alias jagung asli NTT. Bukan saja karena jenis jagung itu telah dibudidayakan dan dikonsumsi nenek moyang penduduk NTT sejak abad ke-16 silam. Juga bukan hanya karena mayoritas wilayah NTT kering dan tandus. Melainkan, karena secara ilmiah telah terbukti bahwa kandungan nutrisi jagung lokal NTT setara dengan beras maupun gandum.

Bergesernya sumber pangan pokok masyarakat NTT dari jagung ke beras diperkirakan bermula sejak tahun 1980-an. Pergeseran ini, terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah pada saat itu yang serta-merta diterima oleh masyarakat. Masyarakat kemudian berperilaku bahwa yang namanya makan berarti makan nasi, meskipun telah mengkonsumsi bahan pangan yang lain seperti arejawa. Kalau mereka belum mencicipi nasi, tetap dianggap belum makan.

Kini NTT kembali mencangkan daerahnya sebagai propinsi jagung, mungkinkah jagung dan arejawa akan menjadi panganan pokok dan sebagai salah satu dari ikon kuliner Ende ???

OLEH : IHSAN D.

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Jagung

intips-kesehatan.blogspot.com

sergapntt.mlblogs.com

www.sinarharapan.co

 

 

 

 

 

Sabtu, 21 November 2015

MENGENAL SISTEM BILANGAN PADA ETNIS ENDE LIO

sistem bilangan ende lioManusia mengenal sebuah bilangan dan sistemnya tidak muncul dengan tiba-tiba. Ia merupakan salah satu hasil budi dan daya dari manusia yang sering dikenal dengan budaya yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan. Tulisan ini mencoba mengangkat suatu budaya masyarakat yang berasal dari etnis ende lio terkait dengan sistem bilangan yang sudah dikenal secara terun temurun. Penulis menyadari tulisan belum sempurna dan mungkin akan terdapat perbedaan dalam pandangan dan penuturan dari pembaca khusunya putra-putri dari etnis ende lio sehingga saran, koreksi dan pendapat pembaca akan memperkaya pengetahuan kita bersama tentang budaya ende lio.
Kita ketahui bersama bahwa Kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.

[caption id="attachment_15" align="alignnone" width="2000"]KEGIATAN PENGHIJAUAN DI NDONA orang-orang dihiutng dengan saimu, imu rua, imu telu dan seterusnya (kegiatan penghijauan di desa manulondo ndona)[/caption]

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
Salah satu budaya local masyarakat adalah dalam sistem bilangan yang dalam penyebutan dimasing-masing daerah ataupun suku berbeda-beda. Hal ini juga ada pada masyarakat suku ende lio. Jauh sebelum masyarakat mengenal sistem bilangan modern baik dari sisi penjumlahan, perkalian, pembagian maupun pengurangan, masyarakat lokal sudah mengenal dan memiliki sistem perhitungan bilangan sendiri. Sistem bilangan ini tidak hilang sekalipun masyarakat sudah berada pada zaman modern namun dari sisi penyebutan maupun perhitungan masih tetap digunakan dari generasi ke generasi.
Masyarakat ende lio mengenal sistem bilangan yang dalam bahasa matematikanya sebagai bilangan asli. Sistem bilangan asli merupakan suatu konsep yang paling sederhana dan termasuk konsep pertama yang bisa dipelajari dan dimengerti oleh manusia untuk memberi symbol dari suatu benda yang dihitung. Dalam masyarakat etnis ende lio sistem bilangan asli dimulai 1 sampai dengan sepuluh yang dalam bahasa lokalnya sebagai berikut ; Esa (satu), Sa rua (dua) telu/tezu (tiga) wutu/sutu (empat) lima/dzima (lima) lima/dzima esa (enam) lima/dzima rua (tujuh) rua mbutu/wutu (delapan) tera esa (Sembilan), sembulu/sembudzu(sepuluh).
Sedangkan untuk sistem bilangan 11 ke atas akan menggunakan dengan bilangan sepuluh (sembulu/sembuzu) dan satu (esa) sebagai patokan yang dipautkan dengan bilangan asal itu sendiri. Misalnya 11 (sembulu sa esa) 12 (sembulu esa rua) 13 (sembulu esa telu) dan seterusnya hingga bilangan 20 yang diambil dari bilangan 10(sembulu) dan 2 (rua) dengan penyebutan mbulu rua). Pada penyebutan bilangan 20, 30, 40 hingga 90 sistem bilangan asli yang digunakan masih berpatok pada bilangan satu (esa, rua, telu) dan seterusnya.)

1-2-3-4-5-fingers-on-hand1
Sedangkan untuk sistem bilangan ratusan dalam penyebutannya dikenal dengan istilah ngasu (ratus), ribuan dikenal dengan istilah (riwu).
Sistem bilangan sebagai symbol ini akan berbeda dalam penyebutannya dengan obyek benda yang akan dihitung. Jika penyebutan pada obyek orang akan disebut imu. Misalnya sa imu (satu orang) imu rua (dua orang) dst. Jika dalam penyebutan obyek daun/lembar disebut dengan wunu (sewunu/satu lembar), wunu rua (dua lembar). Jika obyek perhitungan badan misalnya jari akan disebut kanga (misalnya); satu jari (sekanga), dua jari (kanga rua) dan seterusnya. Jika obyek bilangan berkaitan dengan obyek binatang maka disebut dengan eko. Misalnya satu ekor (se eko) dua ekor (eko rua), tiga ekor (eko telu) dan seterusnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam sistem bilangan maupun sistem perhitungan pada etnis ende lio juga bergantung pada jenis obyek yang akan dijadikan sistem perhitungan bilangan.
Dari uraian kecil ini harapannya akan ada riset lanjutan dari kelompok eksakta maupun gabungan antara kelompok eksakta dan kelompok sosial. Hasil Riset akan menjadi sebuah perbendaharaan local maupun nasional baik dari segi sosial budaya maupun dalam segi dunia eksakta bahwa dalam masyarkat local sistem bilangan dan perhitungan sudah dikenal sejak dahulu dan dapat dijadikan pengetahuan bagi masyarakat local itu sendiri maupun public yang hendak mengetahui kebudayaan suatu suku.
Semoga bermanfaat
Oleh : IHSAN. D
Sumber
http://www.berpendidikan.com
https://id.wikipedia.org/wikihttps

Jumat, 20 November 2015

TENUN IKAT ENDE LIO, DITENGAH HEGEMONI TEKSTIL MODERN

1 lawo nggaja

Tenun ikat bukan suatu produk asing bagi rakyat Indonesia dan lebih khusus bagi masyarakat Kabupaten Ende yang terdiri dari suku ende dan lio. Kain tenun sudah dikenal sejak zaman dahulu kala denga memanfaatkan potensi sumber daya alam setempat sebagai bahan baku local untuk diproses dan dijadikan kain tenun. Menenun merupakan kemampuan yang diajarkan secara turun menurun demi menjaga agar tetap dilestarikan. Tiap suku mempunyai keunikan masing-masing dalam hal corak dan motif. Tiap inidividu diharapkan bangga mengenakan kain dari sukunya masing-masing sebab tiap kain yang ditenun itu unik dan tidak ada satu pun identik sama. Motif atau pola yang ada merupakan manifestasi dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan memiliki ikatan emosional yang erat antara masyarakat dengan alam dan budayanya.

Pada masyarakat Ndona kegiatan menenun merupakan pekerjaan pokok bagi kaum hawa dan merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Hampir setiap ibu-ibu melakukan aktifitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam perkembangannya demi menata dan melestraikan budaya menenun dan coraknya maka dilakukan terbentuklah beberapa kelompok penenun yang ada dibeberapa wilayah misalnya di Kelurahan Onelako, Desa Manulondo maupun Desa Wolotopo. Kain tenun ikat yang telah jadi dikenal dengan sebutan lawo (untuk kaum hawa) dan luka/rafi (untuk kaum adam).

Ibu-Ibu yang tergabung dalam kelompok-kelompok penenun ataupun yang bukan patut mendapatkan apresiasi karena masih mempertahankan budaya tenun ikat tradisional ditengah-tengah gempuran produk tekstil modern baik dalam negeri maupun luar negeri.  Selain mempertahankan tradisi yang telah diturunkan, tenun ikat tradisional merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat diandalkan. Proses tenun ikat lebih banyak melibatkan kaum perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan keterlibatan untuk laki-laki lebih kepada mencari bahan baku untuk ramuan atau adonan pada proses pewarnaan alami, selain itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para laki-laki juga bekerja bertani.

Motif Ende

Kegiatan pembuatan tenun ikat tradisional dengan menggunakan proses pewarnaan alami tidak semudah yang dibayangkan, karena membutuhkan proses dan waktu yang panjang, total waktu yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah kain tenun ikat dengan pewarnaan alami dapat memakan waktu kurang lebih 2 bulan. Beberapa rangkaian kegiatan tenun ikat yaitu merangkai benang-benang untuk diikat menjadi satu rangkaian, sehingga akan membentuk sebuah motif tenun khas Ndona. Setelah motif terbentuk, kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan dengan mencelupkan  kain tersebut berkali-kali pada adonan pewarna alami yang telah dipersiapkan sebelumnya. Selain itu alat-alat tradisional yang digunakan beragam, seperti olawoe, alat ini digunakan untuk menggulung benang menjadi bola sebelum digunakan, meka, alat ini digunakan untuk membuat rangkaian benang yang dililitkan pada meka hingga meka tersebut tertutup oleh lilitan benang (meka memiliki ukuran yang bermacam-macam), ndao go’a, alat ini dipergunakan untuk menaruh lilitan benang yang telah terbentuk di meka yang kemudian dilakukan pengikatan untuk pembuatan motif.

 

[caption id="attachment_327" align="alignnone" width="600"]BenQ Corporation Cantiknya gadis-gadis cilik dalam balutan lawo lambu[/caption]

Bahan pewarna yang digunakan dalam proses pewarnaan berasal dari bahan yang diambil dari alam, seperti warna merah alami diambil dari kulit akar mengkudu (Morinda sp), warna biru alami diambil dari daun Tarum (Indigofera tinctoria) selain itu untuk memperkuat warna – warna tersebut agar tetap cerah dan tidak mudah luntur (mordant), penenun tradisional biasa menggunakan daun gugur Loba Manu (Symplocos fasciculata)  yang ditumbuk sehingga menjadi serbuk. Masih terdapat bahan-bahan alami lainnya yang digunakan dalam proses pewarnaan, seperti minyak Kemiri (Aleurites moluccana) yang digunakan dalam proses perminyakan yang dicampurkan dengan daun loba, daun pacar dan daun widuri dengan cara pencelupan hingga minyak kemiri tersebut habis, maksud dari perminyakan ini agar warna dapat cepat masuk.

ikat-ndona 1

Pada masyarakat Ndona khsusunya di Desa Manulondo dan Kelurahan Onelako dikenal 16 ragam motif kain tenun : Motif Jara Nggaja, Nggaja Sedetu, Nggaja Manu, Jara, Mata Karara, Soke Mata Ria, Soke Mata Lo’oSoke Mata Modhe, Soke Belle Kale, Pea Kanga, Rote Rego, Rote Koba, Rote Kopo, Mangga, One Mesa dan Semba.

Proses pembuatan tenun ikat di hampir sama dengan daerah lain di Indonesia yakni menggunakan alat tenun sederhana dan pewarna alami. Proses pembuatan tenun ikat secara tradisional yaitu: Woe Lelu/menggulung benang, Dao Go’a/merentangkan benang lungsi, Meka Pette/ mengikat benang, Podo Ngili/pencelupan benang, Redu Perru/mencabut tali gebang, Pusi Mina/perminyakan, Kekku Toro/pencelupan warna merah, Dao Go’a/merentangkan benang, Pili Perru/mengatur benang Ae Ti/memberi kanji, dan Seda/menenun, 3) Makna ragam hias biasanya dikaitkan dengan penggunaan dalam upacara adat yang ada. Jenis ragam hias Nggaja dimaknai sebagai lambang kendaraan para dewa, ragam hias Jara dimaknai sebagai lambang kendaraan para arwah dan ragam hias semba dimaknai sebagai lambang kebesaran para Mosalaki dan Atalaki. Fungsi tenun ikat memliki dua fungsi yaitu fungsi pasif sebagai hiasan dan fungsi aktif dapat dilihat dari beberapa aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial dikenakan saat upacara adat, aspek religi dikenakan pada saat upacara keagamaan, aspek ekonomi sebagai sumber penghasilan keluarga dan aspek estetika memiliki nilai yang tinggi dilihat melalui proses pembuatannya yang rumit.

sarung  ende

Sebagai contoh pada lawo (sarung) Nggaja Jara dan Lawo Mangga adalah motif tenun ikat Lio di kampung Ndona. Dua-duanya masuk dalam kasta berbeda dan punya arti tersendiri. Motif Nggaja Jara terkenal yang paling susah pembuatannya. Nggaja berarti gajah dan Jara artinya kuda. Nggaja dan Jara berhadap-hadapan dalam satu motif. Sarung tenun motif Nggaja Jara dipakai untuk melayat dan untuk memenuhi undangan kawinan. Saat melayat kain harus dipakai terbalik. Artinya kepala Nggaja dan Jara harus menghadap bawah. Mereka percaya gajah dan kuda adalah kendaraan para dewa. Roh jahat bisa ikut menebeng dan gampang merasuk saat suasana berkabung. Jika salah pakai sama saja dengan mengundang roh jahat untuk datang.

Ada lagi ikat bermotif Lawo Mangga,” Motif dari kain ini bisa berbeda-beda dan pembuatannya tidak rumit. Harkat motif ini sama dengan pakaian sehari-hari dan dianggap tidak sopan jika dipakai dalam acara pernikahan. Jika datang pada acara tersebut warga Ndona memakain sarung motif Lawo Mangga, pasti akan diperhatikan seluruh tamu. Mungkin rasanya sama jika kita datang pesta pernikahan memakai celana pendek.

DSCF7697

Dalam perkembangannya dengan arus modernisasi yang kian pesat, pemerintah daerah menggalakan dan mewajibkan aparat pemerintah, lembaga pendidikan dan swasta untuk memakai pakian motif daerah setiap hari kamis. Namun ditengah gempuran kain tekstil modern sudah makin nampak motif-motif tenun ikat ende lio diikuti atau dapat dikatakan dijiplak oleh produk tektil modern. Dengan bahan kain yang halus, tipis dan simple, beberapa masyarakat ende lio sendiripun lebih memilih bahan kain tersebut untuk dijadikan baju ataupun model pakian lainnya. Inilah pergeseran yang perlu diwaspadai dan harusnya pakian daerah yang diwajibkan berasal dari kain tenunan ikat asli bukan kain motif tenun ikat. Karena kain motif tenun ikat saat ini sudah dijiplak oleh produk-produk tekstil apalagi motif –motif tenun ende lio khusunya belum dipatenkan sebagai produk asli ende lio

Dengan melihat fenomena tersebut tradisi tenun ikat tradisional dan produk kain tenun perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, karena tradisi ini merupakan sebuah ikon yang dapat ditonjolkan untuk Kabupaten Ende dan bahkan memiliki nilai jual hingga ke mancanegara. Banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses tenun ikat tradisional. Wisatawan dari Jepang, Inggris, dan Amerika, Australia pernah datang untuk menyaksikan kegiatan tenun ikat tradisional, dan wisatawan tersebut lebih menyukai tenun ikat tradisional yang menggunakan pewarna alami dibandingkan dengan penggunaan pewarna tekstil seperti naptol meskipun warna kain tenun dengan pewarna alami tidak secerah kain tenun dengan pewarna tekstil, selain itu, hasil tenun ikat tersebut banyak dibeli untuk dibawa pulang oleh wisatawan asing sebagai buah tangan, ini berarti kain tenun ikat tradisional memberikan tambahan penghasilan bagi penenun. Harga kain tenun ikat tradisional antara Rp. 100.000,- dalam bentuk selendang dengan motif yang beragam,dan harga termahal dapat mencapai Rp. 5.000.000,- dalam bentuk sarung perempuan.

Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin jika produk tenun ikat dikemudian hari akan terasing dinegerinya sendiri jika warganya tidak peduli dan dengan hasil karya daerahnya sendiri. Sehingga upaya mempatenkan motif tenun sangatlah urgen dan mendesak dan pemerintah perlu melakukan langkah progres dengan membuat aturan yang spesifik bukan hanya sekedar berpakaian motif daerah tetapi dengan kain tenun ikat asli.

OLEH: IHSAN DATO

Sumber :

ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPKK/article/view/2442

ekspedisiflorafauna.blogspot.com/2013/.../tenun-ikat-tradisional-

mozalora.blogspot.com/2013/11/tenun-ikat-ende-lio

m.femina.co.id/webForm/content/contentDetail.asp

Rabu, 18 November 2015

FEKO GENDA : MUSIK TRADISIONAL YANG HAMPIR TERLUPAKAN

[caption id="attachment_296" align="alignnone" width="1000"]BenQ Corporation Group Musik Feko Genda Nuakota Ndona Ketika Menyambut Suatu Acara Pernikahan[/caption]

Hampir diseluruh wilayah Indonesia mempunyai seni musik tradisional yang menjadi ciri khas dari daerah. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya. Musik tradisional merupakan musik yang bersifat khas dan mencerminkan kebudayaan suatu etnis atau masyarakat. Musik tradisional, baik itu kumpulan komposisi, struktur, idiom dan instrumentasinya serta gaya maupun elemen-elemen dasar komposisinya, seperti ritme, melodi, modus atau tangga nada, tidak diambil dari repertoire atau sistem musikal yang berasal dari luar kebudayaan suatu masyarakat pemilik musik yang dimaksud.

Music tradisional yang ada di Indonesia dan di Daerah NTT khususnya Kabupaten Ende yaitu Feko Genda. Feko Genda merupakan music tradisional yang terdiri dari paduan dua jenis alat music yaitu feko dan genda atau suling dan gendang. Perpaduan dua alat music tersebut menghasilkan alunan instrument yang merdu didengar dan dimainkan oleh beberapa orang sebagai sebagai peniup suling (feko) dan penabuh gendang (genda).

[caption id="attachment_313" align="alignnone" width="800"]BenQ Corporation Tarian Wanda Pa'u dengan iringan musik feko genda[/caption]

Peralatan Musik Feko Genda pada masyarakat Ende Lio

Seperti yang sudah disinggung di atas, jenis music feko genda merupakan paduan dari dua alat musik yaitu feko (suling) dan Genda (gendang). Secara lokal, kedua jenis alat musik ini dibuat dari bahan atau material yang berasal dari sumber daya alam local.

Feko (Suling)

Feko (suling) bahan pembuatannya berasal dari bambu wuluh (buluh) yang tipis dan dilubangi pada salah satu sisi.

Seruling mampu menghasilkan bunyi kasar, melengking atau seperti suara siulan. Sumber bunyi seruling  berada di bagian tak  jauh dari puncak kepala. Di situ terdapat lubang tiupan kira-kira sebesar ujung jari. Suara diproduksi ketika dalam posisi melintang,  lubang itulah yang kita tiup. Udara kita tiupkan masuk ke dalam tabung, mengalir dan membentur sepanjang dinding tabung yang berfungsi sebagai resonator. Keras lembutnya hembusan akan menghasilkan frekuensi nada yang berbeda-beda, tinggi atau rendah. Tangga nada dapat dihasilkan selain karena variasi kekuatan hembusan juga karena terbuka atau tertutupnya lubang pengatur nada. Jari tangan kanan dan kiri bertugas mengurusi pembukaan dan penutupan lubang itu dengan memencet-mencet  tombol yang tersedia. Lubang nada serta tombol pengendali itu berada di bagian tubuh serta kaki seruling

Dikenal beberapa jenis suling yang biasa dimainkan oleh masyarakat ende lio antara lain;

  • Feko Jedhu/Nangi : ditiup pada saat tengah malam dengan mengalunkan nada-nada ratap dan cara meniupnya seperti rekorder.

  • Feko Bu : ditiup dengan nada-nada improvisasi solis, diiringi dengan beberapa gendang dan jenis suling ini disebut juga suling para gembala.

  • Feko Redho : jenis suling ini ditiup secara duet atau trio dengan harmonis pada nada-nada lagu, biasa digunakan untuk arak-arakan pengantin atau acara lainnya.

  • Feko Ria : jenis suling ini ditiup secara kelompok dalam paduan nada secara harmonis dalam irama mars atau irama lainnya pada acara pernikahan atau acara resmi lainnya.

  • Feko Pupu : suling ini bentuknya agak unik seperti alat pompa dan cara meniupnya dengan menggeser bambu untuk menghasilkan nada bass.


Genda (gendang)

Gendang dalam bahasa ende lio dikenal dengan sebuatan Genda / Albana. Genda / Albana terbuat dari pangkal batang kelapa dan kulit sapi atau kambing. Bentuknya bulatan seperti periuk / podo pada bagian permukaannya.Dalam komposisinya ada tiga jenis dengan jumlah lima buah Genda / albana yaitu :

1.Genda Redhu, ukuran kecil sebanyak dua buah untuk improvisasi
2.Genda Wasa, ukuran sedang sebanyak dua buah untuk ritme
2.Genda Jedhu, ukuran besar sebanyak satu buah untuk bass Musik Genda /Albana biasanya dipadukan dengan suling / Feko atau lagu-lagu untuk mengiringi tarian terutama tarian Wanda Pau dalam suatu acara pernikahan / sunatan dan acara lainnya.

Pada masyarakat ende lio, music feko genda (suling gendang) sering dimainkan dalam acara-acara yang bernuansa riang gembira misalnya pernikahan, penyambutan tamu ataupun acara-acara lain yang bernuansa ungkapan kegembiraan untuk mengiringi tarian-tarian seperti wanda pa’u, maupun toja pala. Namun dalam perkembangnnya eksistensi music feko genda (suling gendang) tidak sepopuler music-musik modern saat ini seperti dangdut, pop, reggae, rock, ska ataupun dj remix. Hanya beberapa orang yang masih memainkan music ini dan biasanya kalangan tua.

[caption id="attachment_301" align="alignnone" width="1500"]BenQ Corporation Group Musik Suling/Feko Genda Nuakota-Ndona[/caption]

Sebagai contoh di wilayah Ndona Kabupaten Ende, saat ini musik suling gendang (feko genda) dimainkan oleh kalangan orang tua yang masih mempertahankan eksistensi jenis music ini. Terdapat dua group music suling yang masih eksis di Ndona yaitu group music suling Nuakota yang berada di Desa Manulondo dan Group music suling Radaara yang berada di Kelurahan Onelako. Kedua group music feko genda tersebut sudah sering tampil di berbagai acara yang digelar baik dari pemerintahan, partai politik maupun dalam acara-acara pernikahan untuk mengiringi pengantin maupun tarian wanda pa’u.

[caption id="attachment_314" align="alignnone" width="800"]BenQ Corporation Musik Feko Genda Mengiringi Pengantin menuju pelaminan[/caption]

Bagi masyarakat ndona khususnya, suatu acara pernikahan jika tanpa diiringi dengan music feko genda maka acara tersebut tidak meriah ibarat sayur tanpa garam. Sehingga disaat acara pernikahan baik dari kalangan muslim maupun katolik selalu diiringi dengan musik feko genda. Untuk menyambut prosesi pernikahan maka pada malam hari keluarga yang melangsungkan acara tersebut mengundang group music feko genda yang secara seremonial adat genda/albana akan ditabuh terlebih dahulu oleh mosalaki dan edaembu dari pengantin wanita. Selanjutnya akan ditabuh oleh group feko genda yang mengiringi tarian wanda pa’u dari bapak-bapak maupun ibu-ibu dan para muda-mudi.

OLEH : IHSAN . D

Selasa, 17 November 2015

TRAGEDI KM. WIHAN SEJAHTERA DAN PROPSEK GELIAT PEREKONOMIAN DI ENDE

Awal pelayaran perdana kapal roro Wihan Sejahtera, Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Ende merasa bersyukur dan menyambut di Pelabuhan Bung Karno dalam pelayaran perdananya Senin (28/9/2015). Ratusan warga  memadati pelabuhan untuk menyaksikan sandarnya kapal yang cukup besar ini. Wakil Bupati Ende Djafar Achmad menerima langsung pelayaran perdana melalui seremoni penerimaan di dalam kapal. Beberapa waktu lalu diawal kehadirannya, warga Kota Ende sempat beropini dan berharap agar Kapal Wihan ini jangan hanya muncul saat pelayaran perdana, tetapi rutin untuk melayani masyarakat Kabupaten Ende dan kabupaten tetangga lainnya seperti Nagekeo, Bajawa dan Manggarai Timur.

[caption id="attachment_276" align="alignnone" width="720"]RORO WIHAN SEJAHTERA Kapal Ro-ro Wihan Sejahtera[/caption]

Namun ditengah gebrakan tol laut yang dicanangkan pemerintah Jokowi JK, tiba-tiba semua kita terhenyak dengan berita tenggelamnya Kapal Ro-ro Wihan Sejahtera di teluk Lamong Surabaya senin, 16 November 2015. Kapal ini baru beberapa kali melayari tujuan surabaya Labuhan Bajo-Ende. Beberapa penumpang memberikan kesaksian bahwa awalnya terdengar suara benturan dan getaran yang hebat sebelum ternggelam. Dugaan sementara menurut Kepala Syah Bandar Pelabuhan Tanjung Perak bahwa kemungkinan adanya kebocoran kapal, sehingga terjadi kemaringingan. Meskipun semua penumpang diberitakan selamat, namun manifest penumpang masih simpang siur.

Adanya kapal roro Wihan Sejahtera sebagai salah satu moda transportasi laut yang melayari langsung dari Surabaya - Ende merupakan sarana yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan terutama dalam mendukung kegiatan perekonomian masyarakat dan perkembangan wilayah-wilayah di Kabupaten Ende dan beberapa daerah lainnya. Sistem transportasi yang ada dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan mobilitas penduduk dan sumberdaya lainnya yang dapat mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi di daerah. Transportasi laut juga bermanfaat untuk membuka peluang kegiatan perdagangan antar wilayah dan mengurangi perbedaaan antar wilayah sehingga mendorong terjadinya pembangunan antar wilayah. Dengan adanya transportasi harapannya dapat menghilangkan isolasi dan memberi stimulan ke arah perkembangan di semua bidang kehidupan, baik perdagangan, industri maupun sektor lainnya merata disemua daerah.56433_highres

Transportasi antar pulau tidak bisa lepas dari transportasi yang menghubungkan pulau-pulau sebagai jembatan, diantaranya yang sangat penting adalah pergerakan melalui kapal penyeberangan berupa ferry roll on roll off yang lebih dikenal secara umum sebagai kapal roro atau feri roro. Akses terhadap informasi, pasar, dan jasa masyarakat dan lokasi tertentu, serta peluang-peluang baru kesemuanya merupakan kebutuhan yang penting dalam proses pembangunan.

Dengan dibangunnya sarana transportasi, kegiatan ekonomi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam pembangunan pada kawasan yang mempunyai potensi ekonomi dan sumber daya alam akan lebih mudah dikembangkan. Kegiatan ekonomi masyarakat ini akan berkembang apabila mempunyai prasarana dan sarana transportasi yang baik untuk aksesibilitas. Aksesibilitas ini dapat memacu proses interasi antar wilayah sampai ke daerah yang paling terpencil sehingga tercipta pemerataan pembangunan.

Dari tragedy tenggelamnya Kapal roro Wihan Sejahtera, maka dampaknya mungkin akan sedikit menghambat pada geliat perekonomian di Kabupaten Ende. Prediksi sementara ini karena satu-satunya moda transportasi laut sebagai pengangkut barang yang tujuan langsung dari Surabaya ke Ende hanyalah KM. Wihan Sejahtera. Sehingga dengan kejadian tersebut sangat diharapkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan terobosan dengan menjalin komunikasi baik kepada pemerintah pusat yang sudah mencanangkan program tol laut, pihak perusahan-perusahan transportasi laut khususnya perusahaan Kapal Ro-ro agar dapat melayari kembali rute Ende karena secara geografis wilayah Ende berada di jantung pulau flores.

56432_highres

Dari tragedy ini kita perlu mengkaji tentang kelaikan sebuah kapal dalam suatu pelayaran. Kapal dianggap tidak laik laut karena terbukti tidak memenuhi persyaratan ketentuan yang ditetapkan peraturan tentang keselamatan kapal (sertifikat kapal ada yang mati, PMK tidak berfungsi dan alat keselamatan kurang memadai, tanda pendaftaran kapal tidak dipasang, muatan berlebih / over draft,  muatan tidak sesuai dengan dokumen muatan, sijil awak kapal tidak sesuai , buku pelaut mati , adanya penumpang gelap, OWS kurang berfungsi dengan baik, dsb ).

Namun faktanya, Kapal tersebut dilengkapi dengan Surat Persetujuan Berlayar ( SPB ) yang ditanda tangani dan disyahkan Syahbandar Pelabuhan, dimana kapal tersebut memulai pelayaran ( Pelabuhan Asal ), yang artinya Kapal tersebut sebenarnya telah melalui pemeriksaan administrasi dan fisik di pelabuhan dan dianggap laik laut serta telah memenuhi ketentuan / peraturan untuk melakukan pelayaran dilaut.

Dari permasalahan yang terjadi, kadang menimbulkan pertanyaan menggelitik, apakah Kapal itu yang memang nakal untuk tidak mau memenuhi ketentuan sesuai peraturan ataukah pemeriksaan yang dilakukan aparat berwenang di Pelabuhan khususnya petugas Kesyahbandaran yang kurang teliti dan kurang focus dalam pemeriksaan kapal di pelabuhan ?

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM.1 Tahun 2010 tentang Tata cara penerbitan Surat Persetujuan Berlayar ( Port Clearance ), telah dijelaskan secara terperinci ketentuan dan prosedur bagaimana Surat Persetujuan Berlayar diterbitkan. Namun pertanyaannya adalah apakah telah diimplementasikan secara benar oleh petugas pemeriksa yang mempunyai kewenangan di lapangan dan apakah telah dipatuhi dengan baik oleh Nakhoda/Operator / pemilik Kapal ?

[caption id="attachment_285" align="alignnone" width="830"]Petugas berperahu motor mencari korban KM Wihan Sejahtera yang tenggelam di perairan dekat Dermaga Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11) Petugas berperahu motor mencari korban KM Wihan Sejahtera yang tenggelam di perairan dekat Dermaga Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/11). Kepolisian Daerah Jawa Timur menurunkan tim untuk membantu korban, melakukan evakuasi, dan melakukan pendataan korban KM Wihan Sejahtera yang tenggelam di depan Dermaga Teluk Lamong, Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/kye/15[/caption]

Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar ( Port Clearance ) merupakan suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh Syahbandar terhadap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan untuk memastikan bahwa Kapal, awak kapal, dan muatannya secara teknis-administratif telah memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim. Pemahaman dari persyaratan Keselamatan dan Keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan diperairan, kepelabuhanan dan lingkungan maritim.

Kelaiklautan Kapal adalah Keadaan Kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal,pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal, dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.

OLEH : IHSAN. D

Sumber:

https://wawasankamla.wordpress.com/2014/06/02/surat-persetujuan-berlayar-port-clearance-dan-masalah-pemeriksaan-kapal-di-laut-2/

Sumber Gambar :

endefloresntt.blogspot.com

jpnn.com

antara

Senin, 16 November 2015

BUDAYA BOU PADA ETNIS ENDE LIO , MODAL SOSIAL YANG PERLU DIBERDAYAKAN

[caption id="attachment_271" align="alignnone" width="300"]Contoh kelompok arisan (bou) di Ende Lio Ndona Contoh kelompok arisan (bou) di Ende Lio Ndona[/caption]

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa manusia adalah makhluk sosial (social animal) yang tidak dapat dinafikan walaupun zaman kian berubah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain. Manusia diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi, berkelompok, berkumpul, bermasyarakat dan bersilaturahmi dengan sesama serta dapat saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhannya.

Kebutuhan untuk bermasyarakat atau berkumpul dengan sesama merupakan kebutuhan dasar (naluri) manusia itu sendiri yang dinamakan gregariousness. Maka dengan demikian manusia merupakan makhluk sosial ( Homo Socius) yang selalu ingin berinteraksi dengan sesame/ bergaul. Walaupun manusia membutuhkan manusia lainnya dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, akan tetapi manusia tetap memiliki otonomi untuk menentukan nasibnya sendiri. Secara pribadi (ego ideal), manusia harus memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya.
Setiap manusia butuh makan dan minum agar tetap hidup. Manusia membutuhkan pakaian untuk dapat bergaul dengan baik dengan manusia lainnya. Manusia juga butuh rumah sebagai tempat berlindung. Pendidikan, kesehatan, hiburan, dan kebutuhan lainnya juga diperlukan manusia agar hidup lebih layak.

Dengan naluri dasar sebagai makhluk sosial dan adanya kebutuhan dasar (self interst) baik dalam pribadi maupun kelompok serta memiliki sifat simpati dan empati terhadap sesame maka keadaan inilah yang dapat menjadikan suatu norma, etika dan kesopan santunan, adat dan budaya yang dianut pada suatu kelompok masyarakat.

Dalam masyarakat Indonesia terdapat suatu budaya ekonomi muamalah yang mencerminkan sifat saling membutuhkan, saling bergantung, hingga memunculkan kelompok dan perkumpulan yang dikenal dengan nama arisan. Pada masyarakat Ende lio budaya arisan dikenal dengan istilah Bou. Secara harafiah istilah bou pada masyarakat etnis ende lio dapat diartikan dengan berkumpul. Namun dalam perkumpulan ini tidak sekedar berkumpul semata namun terdapat suatu kegiatan ekonomi dengan mengumpulkan uang atau barang yang diperuntukan bagi sesama anggota dalam perkumpulan tersebut.

Tidak ada data atau sejarah pasti kapan masyarakat Ende Lio mengenal dan melakukan kegiatan bou (arisan) ini. Namun dari beberapa penuturan masyarakat, budaya bou ini sudah terjadi sejak dahulu kala dengan berbagai macam jenis bou (arisan) dan hal ini menjadi tradisi dimasyarakat. Kegiatan bou (arisan) pada masyarakat ende & lio tidak hanya terjadi di daerah ende lio namun dimanapun anak keturunan suku ende lio berada, disitu ada kegiatan bou (arisan) yang bersifat peguyuban-peguyuban dengan tujuan untuk mempererat tali silaturhami antar sesama anggota yang berasal dari satu daerah sambil mengumpulkan dana atau barang bagi anggota.

Bou (Arisan) adalah sebuah acara yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang mengumpulkan uang atau barang pada suatu periode tertentu yang nantinya hasil dari pengumpulan uang tersebut akan diberikan kepada anggota yang mendapatkan undian.

Secara khusus, dalam masyarakat Ende Lio terdapat beberapa jenis arisan (bou) dengan jumlah anggota yang berfariasi misalnya; arisan uang (bou doi), arisan barang (bou ngawu) bisa berupa, bahan-bahan bangunan seperti semen, seng, keramik, arisan perkakas dapur, arisan kelapa, maupun arisan pendidikan yang fokusnya untuk pendidikan anak dengan jangka waktu yang telah disepakati. Dalam arisan (bou) ini terdapat kepengurusan yang disepakati bersama sesuai kebutuhan dalam kelompok tersebut. Pengurus yang terpilih sangat bergantung dari segi kebutuhan kelompok namun secara umum terdapat seorang ketua, sekretaris, seorang bendahara, dan seorang tenaga humas yang bertugas untuk mengelola kegiatan arisan (bou) selama jangka waktu yang disepakati.

Secara khusus dalam kegiatan arisan uang (bou doi), masing-masing anggota mengumpulkan uang sesuai angka batas bawah dan ada juga batas atas. Penentuan jumlah batas bawah menjadi standar kesepakatan anggota sedangkan penentuan batas atas tergantung dari anggota yang mendapat giliran arisan (bou) dengan melihat kemampuannya karena diwaktu yang akan datang si penerima akan mengumpulkan kembali jumlah uang sesuai dengan jumlah yang diberikan oleh anggota. Dalam arisan uang (bou doi) ini terdapat iuran wajib, iuran air panas (untuk makan minum anggota/snack anggota) dan uang atau dana untuk arisan (bou) itu sendiri. Iuran wajib anggota dapat dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan dan akan dilaporkan perkembangannya pada setiap waktu arisan (bou) berikut dengan pengembaliannya sesuai kesepakatan yang berlaku dalam kelompok arisan tersebut.

Dalam jenis-jenis arisan ini, untuk menentukan giliran arisan (bou) terdapat beberapa metode untuk menentukan giliran arisan bagi setiap anggota antara lain;

  1. Metode undian kartu: Pada metode undian dilakukan dengan beberapa cara misalnya, undian dengan kartu. Metode undian dengan kartu ini dilakukan dengan cara sebagai berikut; Ketua menyiapkan 2 bungkus kartu. 1 bungkus kartu diacak dan disebarkan pada satu tempat/wadah. Kemudian ketua mengumumkan nama anggota satu persatu untuk mengambil dan memilih kartu yang telah disediakan. Setelah semuanya memperoleh kartu, Ketua mengacak bungkusan kartu yang satunya lagi dan disaksikan oleh semua anggota ketua membuka salah satu lembar kartu yang dijadikan kartu patokan. Jika ketua membuka kartu bergambar harten, maka anggota yang memperoleh kartu As harten , dua harten, tiga harten dan empat harten yang akan memperoleh giliran arisan selama 4 bulan putaran berturut-turut sesuai urutan 1-4.

  2. Metode undian lotre : Metode undian lotre digunakan dengan system setiap nama anggota yang belum arisan (bou) ditulis dan digulung kemudian dimasukan dalam suatu wadah yang dilubangi. Ketua mengocok nama-nama tersebut dan jika ada satu gulungan nama yang keluar maka anggota tersebut yang akan memperoleh arisan dibulan berikutnya.


Metode-metode tersebut merupakan metode umum yang sering digunakan oleh beberapa paguyuban/kelompok arisan yang ada di masyarakat lokal ende lio meskipun terdapapat metode-metode lain. Namun tujuannya agar ada ketertiban dalam proses penyelenggaraan arisan (bou).

Dalam perkembangan beberapa kelompok arisan mulai mengarah pada pembentukan koperasi dan bahkan beberapa koperasi cikal bakalnya terbentuk dari kelompok-kelompok arisan. Disisi lain, terdapat arisan (bou) yang hanya difokuskan untuk pendidikan anak.. Setiap dana yang dihimpun dari anggota hanya disimpan untuk proses pendidikan anak. Jika ada anggota yang membutuhkan dana pendidikan anak, maka dapat mengajukan dananya pada pengurus karena dana tersebut disimpan pada bank. Ini merupakan langkah progresif untuk membantu proses pendidikan anak.

Dalam urusan pembangunan tempat tinggal terdapat juga arisan semen, seng ataupun keramik. Arisan semen ataupun bahan bangunan yang lain tidak hanya selesai pada saat arisan. Jika ada anggota yang membangun tempat tinggal (rumah) maka setiap anggota wajib membantu proses pembangunan rumah.

Bou (arisan) sebagai Modal Sosial Pengembangan Ekonomi Masyarakat

Secara faktual potensi arisan (bou) belum dijadikan sebagai modal membuka usaha kecil. Anggota bou (arisan) biasanya akan memakainya untuk hal-hal temporer seperti membayar utang, membeli kebutuhan yang bukan primer atau dapat dikatakan digunakan secara konsumtif dan belum dijadikan sebagai potensi produktif sebagai suatu modal social.

Konsep modal sosial pertama kali dikemukakan oleh Coleman (1988) yang didefinisikan sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Lebih lanjut, Coleman membedakan antara modal sosial dengan modak fisik dan juga modal manusia. Dari berbagai hasil kajian terhadap proyek pembangunan di dunia ketiga, menurut Ostrom (1992), menyimpulkan bahwa modal sosial merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu tujuan pembangunan.

Dari berbagai kajian tentang modal sosial, beberapa ahli memberi penjelasan bahwa modal sosial berintikan pada elemen-elemen pokok yaitu:

  1. Saling percaya (trust) yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity).

  2. Jaringan sosial (network) yang meliputi adanya partsipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity) solidaritas (solidarity), kerjasama (cooperation) dan keadilan (equality).

  3. Pranata (institutions) yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions) dan aturan-aturan (rules).


Melihat potensi tersebut maka bou (arisan) merupakan modal sosial sebagai suatu pranata yang ada pada masyarakat yang dapat dimanfaat untuk pengembangan perekonomian masyarakat seperti pengembangan usaha kecil menengah ataupun usaha-usaha ekonomi produktif lainnya. Bou (arisan) dapat dimodifikasi sebagai sumber dana atau berupa bantuan modal usaha yang berasal dari anggota dan dipergunakan untuk kepentingan anggota yang diinvestasikan secara merata kepada setiap anggotanya.

Sistem ini anggota bou (arisan) dapat mempresentasikan usaha yang sedang dijalankan ataupun yang akan dijalankan kepada anggota lainnya. Anggota-anggota bou (arisan) akan menghimpun dana iuran wajib dan dana pokok arisan sesuai kemampuan anggota. Dana yang dihimpun tersebut dijadikan modal usaha bagi anggota yang memperoleh giliran arisan (bou). Ataupun dengan model-model lain selama dalam penegelolaannya ditujukan untuk pengembangan usaha ekonomi produktif anggota.

Hasil penelitian Badarudin (2003) terhadap komunitas nelayan di wilayah Sumatera Utara menemukan sejumlah potensi modal sosial dalam komunitas tersebut. Salah satu potensi yang ditemukan oleh Badarudin (2003) yaitu arisan. Beliau menyimpulkan bahwa Arisan sebagai suatu pranata untuk mensiasati perangkap kemiskinan pada masyarakat. Keberadaan arisan sebagai pranata, memberi modal sosial yang cukup strategis dimana arisan memberi kemampuan komunitas untuk: (1) membangun konsensus, (2) menetapkan tujuan, (3) membangun jaringan sosial yang kompak, (4) merajut pranata dan membangun kepercayaaan.

Dengan memodifikasi Arisan (bou) sebagai modal usaha, secara perlahan akan mampu menjadi potensi pengumpul dana untuk usaha kecil yang sukses. Dengan modifikasi ini maka tidak akan dianggap sebagai program pengembangan ekonomi dari luar atau juga bisa digunakan orang untuk mengumpulkan dana swadaya daripada mencari dana bantuan dari luar ataupun lembaga nirlaba.

Penguatan aksi kolektif dalam tingkat komunitas yang terbangun melalui pilar-pilar modal sosial, akan memperkuat posisi tawar komunitas terhadap kekuatan-kekuatan eksternal yang mencoba melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Melalui potensi modal sosial yang ada, komunitas nelayan dapat memanfaatkan sumberdaya alam secara efektif tanpa merusak habitat laut demi kelangsungan kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena modal sosial merupakan infrastruktur sosial yang terbangun dari interaksi warga yang didasarkan rasa saling percaya, bekerjasama untuk mencapai tujuan dan menghasilkan kehidupan yang berkeadaban (civic culture).

OLEH : IHSAN D.

Sabtu, 14 November 2015

EUFORIA ETMC 2015 DAN CATATAN KECIL BAGI PERSE DAN PEMKAB ENDE

[caption id="attachment_268" align="alignnone" width="300"]Laskar Kelimutu Ende Laskar Kelimutu Ende[/caption]

Sebagai ajang tertinggi dalam persepakbolaan NTT, Eltari Memorial Cup 2015 telah usai dan hasilnya telah diketahui bersama bahwa Persami Maumere keluar dengan menahan Piala bergengsi di level NTT untuk tinggal di bumi Nian Tanah sedangkan Perse Ende yang dijuluki Laskar Kelimutu menjadi tim peraih juara dua. Terlepas dari plus minus pelaksanaan turnamen ini, namun hal positif yang patut dibanggakan bahwa digulirkannya turnamen ini sejak 1969 secara implisit mampu membangun rasa persaudaraan sesama masyarakat flobamorata.

Dalam kancah sepak bola Nasional, talenta-talenta muda Nusa Tenggara Timur yang dahulunya tidak pernah dipandang oleh pelatih dan club-club berkelas dalam negeri namun kini generasi muda NTT mulai menunjukan kemampuannya dan layak diperhitungkan dilevel Nasional . Adalah Indra Syafri mantan pelatih nasional dan pelatih Bali United saat ini yang mengangkat putra-putra NTT seperti Yabes roni Mailafani, Aslan Sanda, Sebastianus Daga, Andre Tefu untuk menunjukan taringnya di kancah sepak bola nasional.

Ditengah kisruh persepakbolaan pada level nasional antara PSSI dan Kemepora hingga dibanned FIFA, muncul fenomena baru dalam ETMC 2015 yaitu fanatisme penonton dan kegilaan beberapa pemerintah daerah sebagaimana yang ditunjukan oleh pemkab Malaka sebagai kabupaten bungsu dengan menjanjikan pekerjaan bagi pemain, pemkab flotim dengan memberi bonus sebesar 125 juta, dan yang paling gila adalah pemkab ende yang selain memberikan bonus bagi pemainnya, cara yang dilakukan untuk mendukung tim Perse dengan memfakultatifkan urusan pekerjaan dan menggerakan pegawai maupun masyarakat untuk mendukung tim kesayangan laskar kelimutu. Euforia public Ende mengangkasa dengan berbagai slogan salah satunya merahkan Samador sebagai stadion terselenggaranya ETMC 2015 di Maumere.

Sepak bola bagai virus yang melanda semua lapisan masyarakat termasuk di Ende. Tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, ras maupun golongan. Sepak bola bahkan membangkitkan adrenalin suporternya ketika dalam situasi genting dalam suatu pertandingan, sepak bola telah membuka sekat antar daerah untuk menunjukan kapasitas tim terbaik. Inilah euphoria sepak bola yang sifatnya tidak statis ibarat pasang surut air laut.

Dalam ETMC 2015, mencuat pula sejarah baru bahwa sepak bola NTT makin kompetitif. Memang benar kata orang bola itu bundar. Sebut saja, Persami, selain sebagai tuan rumah tim ini pada laga awalnya terseok karena dikalahkan oleh SBD yang pernah menjadi Jawara ETMC namun akhirnya Persami menegaskan bahwa merekalah sang jawara kali ini. Kemudian Tim Persewa , persematim, dan bahkan PSKK kota Kupang yang merupakan gudangnya pemain sepak bola NTT dan tim langganan final serta dihuni oleh pemain-pemain yang berkelas pada akhirnya tumbang ditangan Perse Ende, Demikian juga PSN Ngada yang juga gudang pemain dan juga langganan final pada akhirnya keok juga dikaki-kaki pemain perse. Tim yang tidak diperhitungkan dalam laga kali ini mampu membuktikan bahwa mereka layak diperhitungkan dalam kancah sepak bola NTT.

Terlepas dari carut marut pelaksanaannya ETMC 2015 dan nada-nada pro kontra atas tim Perse kemarin yang menggunakan jasa pemain luar, terdapat catatan-catatan penting bagi Pemkab Ende maupun stackholder sepak bola Ende selain dalam menyongsong ETMC 2017 yang nantinya akan digelar di Ende namun juga untuk investasi jangka panjang. Dukungan dalam sepak bola Ende khusunya tidak sekedar euphoria semusim dan akan hilang bagai ikan lumba-lumba. Perlu langkah progress agar Perse Ende selain dihuni oleh putra daerah yang mumpuni dalam sepak bola daerah juga mereka mampu berkiprah dilevel nasional.

Secara factual, di Ende dalam penanganan dan pengembangan dunia sepak bola masih jauh dari harapan. Misalnya dalam manajemen Perse sendiri yang belum jelas dan tidak adanya pendataan club-club maupun SSB yang ada di Ende , kemudian turnamen yang masih minim dan tidak adanya turnamen usia dini dan hilangnya turnamen antar kecamatan. Jika boleh dikatakan Even turnamen di Kabupaten Ende yang paling bergengsi hanyalah Turnamen Sepak Bola Ema Gadi Djou Cup yang diselenggarakan oleh Yayasan Perguruan Tinggi Flores. Di sisi lain ketika digelarnya turnamen, muncul club-club baru yang kurang jelas baik dari sisi pembinaan, pengelolaan club apalagi aturan-aturan club sehingga disaat turnamen sering memakai jasa pemain-pemain dari luar daerah. Namun hal ini tidaklah menjadi masalah crusial karena sepak bola itu olahraga yang terbuka dan sangat tergantung pada sifat turnamen yang akan digelar. Jika turnamen itu bertujuan untuk membina, dan mencari bakat-bakat local maka Perse harusnya melakukan verifikasi dalam setiap gelaran turnamen yang dibuat. Namun jika turnamen tersebut sebagai ajang pegembangan pemain maka event tersebut merupakan ajang untuk melatih pemain agar dapat belajar dari pemain luar dan berkompetisi untuk membuktikan skillnya. Pada tempat lain, Perse juga perlu melakukan pembinaan terhadap club-club yang ada di Ende agar club-club yang ada dijadikan potensi dan juga dibentuk asosiasi sepak bola ditingkat kecamatan yang harusnya club dan asosiasi kecamatan ini merupakan pemilik suara Perse . Ini merupakan catatan yang perlu menjadi masukan bagi Perse sebagai Induk sepak bola di Ende.

Dari hal tersebut langkah bagi Perse sebagai PSSI nya Kabupaten dan Pemkab Ende khususnya, dapat bekerja sama dengan berbagai pihak untuk melakukan pembenahan baik dari sisi turnamen maupun penanganan club-club yang ada di Ende. Hal yang tidak kalah penting misalnya memperbanyak Turnamen atau menyelenggarkan kompetisi usia dini yang melibatkan pihak swasta baik sebagai operator maupun sebagai sponsor. Dipihak lain, Perse perlu menghidupkan kembali even tahunan yang pernah ada yaitu turnamen antar kecamatan yang bisa saja dikemas dalam Kelimutu Cup atau Piala Bupati atau dalam nama apapun asalkan terselenggara secara rutin dan dijadikan agenda tahunan dan pemain-pemainnya diverifikasi benar-benar dari kecamatan tersebut ataupun asli putra Ende. Karena semua yakin terdapat bakat-bakat alam yang perlu dimanfaatkan dan dikembangkan ada pada generasi muda ende yang tersebar diberbagai belahan bumi kelimutu.

Jayalah Sepak Bola Ende..., Bravo Laskar Kelimutu…

OLEH: IHSAN D.

Jumat, 13 November 2015

SISTEM KALENDER DAN MUSIM PADA MASYARAKAT ETNIK LIO

[caption id="attachment_265" align="alignnone" width="300"]Upacara adat Joka Ju di Desa Manulondo Ndona Upacara adat Joka Ju di Desa Manulondo Ndona[/caption]

Dalam kehidupan masyarakat terdapat nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom) yang menjadi pengetahun turun temurun. Namun seiring perkembangan zaman beberapa nilai kearifan lokal ini dapat dikatakan perlahan mulai terkikis seiring putaran waktu.

Kearifan lokal atau kearifan tradisional sendiri merupakan pengetahuan yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat suatu suku dalam mengolah dan menata lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya, yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian hidup dan lingkungannya

Tulisan ini mencoba untuk menyajikan sedikit gambaran tentang sistem perhitungan musim pada masyarakat etnik lio yang merupakan salah satu etnik yang ada di kabupaten Ende. Sistem perhitungan musim ini dalam perkembangan mulai hilang dan bahkan dapat dikatakan telah ditinggalkan seiring dengan dikenalnya sistem perhitungan modern yang dikenal dengan kalender masehi dan prakiraan-prakiraan cuaca yang secara modern dikemas dalam suatu istilah meteorologi. Bukan hendak kembali pada masa lalu atau zaman megalitikum, namun hal ini perlu diangkat untuk dijadikan bahan pengetahun bagi generasi saat ini bahwa pada zaman dahulu nenek moyang orang lio telah mengenal sistem kalender dalam segala kehidupan mereka.

Secara spesifik, kalender musim etnik lio ini mungkin akan berbeda versi dari pengetahun-pengetahun anak keturunan orang lio sendiri, namun beberapa masukan dan perbaikan dari pembaca, penulis yakin akan memperkaya pengetahuan bersama bahwa sumber daya local wisdom sangatlah luas dan dalam.

Kalender musim etnik lio menurut Orinbao (1992) dalam Munandjar Widyatmika antara lain :

  1. Wula Leru Hera. Masa ini berlangsung sekitar bulan Agustus. Pada bulan ini sinar matahari yang sangat terik atau dapat dikatakan sebagai masa musim kemarau. Daun-daun pepohonan berguguran. Masa ini biasanya akan dilakukan persiapan pembukaan lahan baik yang baru maupun yang lama

  2. Wula Nggaka. Masa ini berlangsung sekitar bulan September dan ditandai dengan terbangnya burung gagak yang berkeliling dan dijadikan isyarat agar petani segera membakar lahan karena musim penghujan akan segera tiba.

  3. Wula Roko Riwu. Masa ini sekitar bulan Oktober yang mengisyaratkan masyarakat untuk segera bangun atau bangkit dari masa istrahatnya. Pada masa ini ditandai dengan gemuruh petir sebagai pertanda akan segera turun hujan dan petani mulai menyiapkan lahannya untuk mulai bercocok tanam.

  4. Wula Mapa. Masa ini berlangsung pada bulan November yang ditandai dengan adanya gumpalan awan yang berderet-deret sebagai tanda hampir dimulainya penanaman benih dan hujan mulai turun perlahan-lahan.

  5. Wula Nduru. Masa ini sekiar bulan Desember yang ditandai dengan penanaman bibit khususnya. Masa ini ditandai dengan hujan dan angin yang dipercayai sebagai penyubur tanaman.

  6. Wula Bako Lo’o. Masa ini diperkirakan sekitar bulan Januari. Masa ini sebagai musim lapar sedang (bare lo’o) yang ditandai persediaan makanan yang mulai menipis dan masyarakat harus berhemat agar tidak kelaparan.

  7. Wula Bako Ria. Masa ini merupakan musim lapar besar yang biasanya pada bulan Februari. Masa tersebut ditandai dengan kekurangan persediaan makanan karena belum dipanennya hasil ladang dan masyarakat mulai mencari makanan alternatif.

  8. Wula Fowo. Masa ini berlangsung sekitar bulan Maret. Pada masa ini merupakan musim angin yang kencang dan sudah mulai ada tanda-tanda hasil dari lading namun masa panen belum dimulai.

  9. Wula Balu Re’e. Masa ini merupakan masa marabahaya yang diperkirakan sekitar bulan April. Pada masa ini angin lebih kencang disertai hujan dan petir yang menyambar sehingga masyarakat diminta berhati-hati pada masa ini. Pada masa ini pula tanaman diladang sudah mulai siap untuk dipanen sehingga masyarakat perlu melakukan persiapan upacara untuk mengucap rasa syukur.

  10. Wula Balu Ji’e. Masa ini merupakan bulan bahagia dan diperkirakan pada bulan mei. Masyarakat merasa lega dan bahagia karena sudah melewati tantangan dan hasil tanaman sudah dapat dipanen. Pada masa ini biasanya digelar pesta atau upacara sebagai ungkapan rasa syukur kepada leluhur.

  11. Wula bobo. Masa ini sekitar bulan Juni. Pada waktu ini masa panen hasil tanaman atau hasil ladang telah usai dan hasil panen mulai disimpan dilumbung.

  12. Wula Mala. Masa ini berlangsung sekitar bulan Juli. Masa ini mulai digunakannya persediaan makanan yang ada dilumbung dan


Sistem perhitungan kalender adat ini mungkin dari sisi nama ataupun penetapan waktu antara sub etnik lio ada yang berbeda namun dalam siklus hidup hampir sama yang berpijak pada bulan (wula), matahari (mata leja) , serta pergantian siang (leja ) dan malam (kobe). Sehingga sebelum dikenalnya kalender masehi, pada masyarakat etnik Lio telah mengenal kalender tersendiri.

Secara umum sistem perhitungan kalender local ini berpatok pada siklus putaran bulan (wula) sebagai pijakan dalam bercocok tanam maupun dalam mengatur siklus hidupnya. Pada masa-masa sesuai siklus putaran bulan biasanya pada masyarkat etnik Lio akan diselenggarakan beberapa upacara adat misalnya Upacara mengaduk bibit, upacara ka po,o, upacara ka poka, uacara joka ju, upacara pire/po te’u, dan beberapa upcara lain yang dilakukan berdasarkan siklus bulan dan melihat fenomena yang terjadi ditengah masyarakat. Ritual joka ju (tolak bala) misalnya, menurut tradisi adat wajib hukumnya dilaksanakan sebagai upaya untuk menolak bala, mara bahaya yang akan atau sedang menimpa komunitas dan alam lingkungan setempat, demikian juga dengan ritual-ritual dalam pola bercocok tanam dan perawatan hutan, pandangan local menegaskan bahwa hutan dan alam raya wajib dilindungi oleh keserakahan manusia sehingga dapat memberihkan penghidupan bagi masyarakat setempat melalui pola bercocok tanam. Sehingga dalam siklus waktu yang sudah ditentukan maka akan dilaksanakan upacara atau ritual-ritual tersebut sesuai dengan hukum adat setempat.

Dalam menentukan siklus bulan, pada masyarakat etnik lio melihat dengan fenomena alam sebagai symbol bahwa saat tersebut memasuki bulan apa. Tanda tanda alam ini seperti suara burung, suara-suara binatng lain, munculnya binatang-binatang dari hutan, dedaunan pohon yang bergugur, gumpalan awan, cahaya bulan dan matahari dan masih banyak tanda-tanda alam yang dijadikan patokan untuk menentukan masa dalam siklus setahun.

Pada penentuan siklus ini, masyarakat etnik lio memanfaatkan kearifan lokal tidak hanya dalam bidang pertanian atau mengolah lahan dan hasil usaha pertanian, akan tetapi kalender musim ini juga dijadikan patokan dalam kegiatan-kegiatan lainnya seperti pembangunan tempat tinggal, pembangunan rumah adat, kegiatan melaut atau sebagai nelayan, maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dijadikan patokan umum saat itu. Sehingga kearifan lokal dalam kalender musim ini dijadikan patokan umum dalam berbagai bidang kehidupan.

OLEH: IHSAN D.

Kamis, 12 November 2015

PERSE, SANG LASKAR KELIMUTU DALAM PATRIOTISME MARILONGA & BARANURI, MERENGKUH ELTARI MEMORIAL CUP 2015

[caption id="attachment_262" align="alignnone" width="300"]PERSE ENDE-LASKAR KELIMUTU PERSE ENDE-LASKAR KELIMUTU[/caption]

Sempat terseok dilangkah awal menuju ke puncak final dan tidak diperhitungkan dalam ETMC 2015, PERSE Ende kini menatap harapan untuk merengkuh Piala ETMC 2015 dan bertemu kembali dengan rekan tetangganya Persami Maumere. Nada pro dan kontra karena menggunakan pemain dari luar kabupaten masih terus terdengar meskipun telah babak final, namun tidak menciutkan nyali laskar kelimutu untuk tetap optimis bahwa perjuangan belumlah berakhir. Inilah semangat Marilonga, Baranuri dan pejuang-pejuang Ende lainnya yang menanamkan jiwa patriotisme bagi generasi penerusnya. Ditopang dengan dukungan dari fans Perse mania, Pemkab, Para politisi dan bahkan dunia pendidikan tinggi yang ada di Ende, memacu Perse dengan tegak menatap laga final.

Di tahun 1999 atau 16 Tahun yang lalu, ketika Perse mengangkat trophi kebanggaan masyarakat sepak bola NTT kini asa itu akan terulang kembali. Ephoria dan fanatisme fans lascar Kelimutu adalah support utama bagi perjuangan ana embu marilonga dan baranuri. Namun Kalah ataupun menang itulah perjuangan karena dalam pertandingan semangat fair play, dan persaudaraan adalah kunci utama.

Tunjukan patriotiseme marilonga dan baranuri dengan asa dan semangat tanpa menyerah sebelum pluit panjang dari sang wasit ditiupkan. SOOOO EBE EMBU MAMO KAJO, GHELE NOO ULU LAU NO EKO, EMBU..MARILONGA TOPO DOGA AE BERE IWA SELE, EMBU BARANURI EO BANI NGAI TAU DARI NIA PASE LA’E, KEPE NGGENGGE EBE ANA MAMO MIU WAI RENGGI RIA NAJA NUA OLA, TAU SENGGU WAKA WAI BHISA GHIA NAJA ENDE LIO SARE PAWE.

Selasa, 10 November 2015

GENERASI ENDE ANTARA PATRIOTISME MARI LONGA DAN BARANURI

[caption id="attachment_257" align="alignnone" width="300"]Mari Longa dan Baranuri Mari Longa dan Baranuri[/caption]

Hari ini 10 November 2015 sebagai hari Pahlawan. Banyak ungkapan yang mengatakan jika ingin menghancurkan suatu bangsa maka hancurkanlah generasi mudanya? Kenapa?..Karena setelah itu tidak ada lagi generasi yang meneruskan semua cita-cita dan nilai perjuangan apalagi dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam semangat kepahlawanan  heroisme dan patriotisme kisah pahlawan

pahlawan lokal tidak hanya cukup dikenal dengan memberi nama sebuah lapangan, jalan, patung ataupun, mengangkatnya menjadi pahlawan nasional dan menganugrahkan penghargaan lainnya. Perjuangan mereka tidak hanya dikenang dengan tindak tutur kita sesuai zaman kini. Akan tetapi patriotisme Mari Longa dan Baranuri sebagai pahlawan kebanggaan Ende menjadi spirit baru dalam membangun sebuah bangsa lebih khusus setiap warga Ende Lio Sare Pawe.

Tulisan ini disarikan dari beberapa sumber sebagai catatan untuk mengenang sejarah perjuangan kedua pahlawan dari Ende Mari Longa dan baranuri. Para pahlawan bangsa telah berhasil mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, dengan dibimbing semangat nasionalisme, patriotisme, dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam semangat nasionalisme yang dimiliki para pahlawan bangsa dapat digambarkan sebagai rasa memiliki sebuah bangsa. Namun generasi muda sekarang ini mengalami proses degradasi nilai-nilai kepahlawanan dan perjuangan. Mereka lebih mengidolakan tokoh-tokoh imajiner yang sering ditampilkan dalam tayangan televisi dan internet. Sementara itu mereka kurang mengenal tokoh-tokoh pahlawan nasional dan daerah maupun.

Menurunnya nilai-nilai kepahlawanan pada generasi muda dapat mempengaruhi terbentuknya karakter bangsa, termasuk tidak mengetahui pahit getirnya. Generasi muda sekarang justru lebih menyukai kebiasaan praktis dan serba instan. Pengaruh utama datangnya dari kesalahan dalam menterjemahkan pemakaian teknologi. Secara efektif dan efesien pemakaian teknologi hanyalah sebagai sarana membantu manusia untuk mempercepat akses informasi. Tetapi tidak dipersiapkan dengan mental atau nilai-nilai kepahlawanan sehingga dampaknya generasi muda sekarang menjadi generasi yang malas, konsumtif, tidak membiasakan diri bertanggungjawab, dan suka jalan pintas.

SEKILAS MENGENAI MARI LONGA

Mari Longa dilahirkan di Watunggere, Ende sekitar tahun 1855, sekarang ibukota kecamatan Detukeli Kab Ende, Flores NTT. Nama aslinya Leba (pare adalah jenis sayur yang pahit). Ayahnya bernama Longa Rowa, seorang panglima perang tanah persekutuan Nida. Ibunya bernama Kemba Kore. Sebab sering sakit, maka sang ayah mengganti nama Leba Longa dengan nama Mari Longa. Mari adalah sejenis pohon yang kulitnya sangat pahit serta kayunya sangat keras. Sejak namanya diganti Mari Longa, ia menjadi sangat sehat.

Mari Longa berperang melawan sesame pribumi. Untuk menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, Belanda menerapkan politik “devide et impera”. Mari Longa ingin berdamai dengan pribumi karena kecerdikan Belanda, maka perang sesama pribumi pun tak terhindarkan. Pertama, perang melawan orang Mego di Maumere sekitar tahun 1895. Pertempuran ini dimenangkan oleh Mari Longa. Kedua, perang melawan orang Lise Lande pada tahun 1897 – 1899 yang dimenangkan oleh Mari Longa. Dalam perdamaian Mari Longa mempersunting seorang gadis Lise. Ketiga, perang melawan orang Londi Lada, dimenangkan oleh Mari Longa. Keempat, perang melawan orang Detukeli. Kelima, perang melawan pasukan Diko Lawi yang kemudian ditaklukan oleh pasukan Anafua pimpinan Mari Longa.

Revolusi awal perang Mari Longa melawan Belanda dimulai pada tahun 1890. Mari Longa membantu Bhara Nuri (pahlawan Ende, pemimpin pasukan melawan Belanda 1887 – 1891) untuk berperang melawan Belanda. Dalam pertempuran itu, putrid Mari Longa yang bernama Nduru Mari terkena tembakan Belanda. Peluru bersarang di ususnya. Nyawa Nduru Mari tertolong dan hidup. Pertempuran ini dikenal dengan perang “ae mesi nuka tana lala” (air laut naik, tanah runtuh). Perang ini juga sebagai awal perang melawan kolonial Belanda. Pasukan Belanda pun bertekuk lutut dalam perang selama 1893 – 1897 ini.

Perang Koloni II terjadi pada tahun 1898 – 1902. Pasukan Belanda digiring Mari Longa memasuki hutan sehingga mereka menyerah kalah sebelum banyak menelan korban. Belanda mengajak damai dan ingin mengajak Mari Longa menjadi raja. Belanda licik dan Mari Longa tidak diangkat menjadi raja di Watunggere.

Perang Koloni III terjadi pada tahun 1905. Kampung Lewagare dibakar Belanda. Mari Longa marah dan bersama pasukannya membantai serdadu Belanda.

Perang Koloni IV pun meletus lagi pada tahun 1906. Lagi – lagi puluhan pasukan Belanda merenggang nyawa terkena tembakan anak panah otomatis yang dipasang pada jalan masuk kampung Watunggere dan jalan di hutan, dekat benteng Watunggere yang merupakan perkampungan Belanda. Belanda akhirnya menarik pasukannya ke Ende.

Akhirnya, karena kelicikan Belanda pada tahun 1907 perang koloni V meletus lagi. Mari Longa gugur di depan benteng Watunggere, di tangan kapten Christoffel.

RIWAYAT BARANURI

Baranuri atau lebih dikenal dengan Bhara Nuri atau Bara Noeri, menurut makna suku kata penduduk Ende, berasal dari 2 suku kata “ Noezi” dan “Bhara”. Noezi atau Nuzi berarti bintik-bintik merah di kulit, sedangkan Bhara berarti putih. Memang beliau berkulit putih dengan bintik-bintik merah di kulitnya.

Baranuri ini, adalah seorang atangga’e (pembesar) di Ende. Yang lahir dan hidup di Ende. Sejarahnya dapat anda lihat di buku sejarah MULOK yang sedang dipelajari di sekolah-sekolah di Kabupaten Ende.

Ada 4 sebab terjadinya perang tersebut :

a). Perselisihan Baranuri dengan seorang atangga’e/pembesar di Ende, dimana beliau tidak setuju pembesar itu bekerjasama dengan Belanda.

b). Larangan Belanda terhadap perdagangan budak ke Sumba dan perdagangan senjata Api oleh Belanda tahun 1877, yang sangat merugikan kepentingan Baranuri sebagai pembesar di Ende.

c). Campur tangan Belanda terhadap masalah perkawinannya dengan wanita dari Sumba. Dimana wanita itu dipulangkan kembali ke Sumba, dengan alasan ia tidak memiliki paspor sah dari Controleur di Sumba. hal ini membuat Baranuri marah karena tanpa sebab Belanda telah mencampuri urusan pribadinya.

d). Disitanya perahu milik Baranuri oleh Asisten Residen Brugman

Perselisihan itu sempat membuat Baranuri diasingkan ke Manggarai – kemudian ke Kupang. Pada bulan juli 1890 dia berhasil melarikan diri dan kembali ke Pulau Flores dengan mendarat di Kampung Ngalupolo (Timur kota Ende). Dari situlah, atas bantuan pembesar disana, kemudian dia mengumpulkan prajurit dan menuju ke kota Ende serta membumi hanguskan ladang dan kebun kelapa di Aembonga (salah satu kelurahan di kota Ende).

Pada tanggal 5 januari 1891, Residen Kupang melaporkan pada Gubernur Jenderal di Batavia bahwa ketika dia tidak dibantu lagi oleh Raja Ende serta sia-sianya pasukan sebanyak 1.100 orang mengepung Baranuri, maka atas keputusan Gubernur Jenderal di Batavia dikirimkanlah 2 kapal perang Belanda JAWA dan VAN SPEIJCK untuk menyerbu Baranuri dari laut Ippi.

Bersama dengan ditembakkannya peluru mortir dan meriam bertubi-tubi dari laut Ippi, pada bulan Maret 1891, Belanda akhirnya berhasil memusnahkan kampung Manunggo’o beserta bentengnya.

Peristwa penangkapan Baranuri dlakukan oleh Asisten Residen Belanda bernama Rozet yang baru diangkat. Bermula dari permintaan Kepala Kampung Roworeke dan Waturoga, 2 kampung yang sebelumnya bersekutu dengan Baranuri, yang berkepentingan karena kampungnya telah mengalamai kerusakan berat ketika dibom dari Kapal Belanda itu. Mereka meminta Baarnuri untuk menyerahkan diri.

Atas rencana dan tipu muslihat Rozet, Baranuri bersedia berunding. Perundingan itu diadakan di Kapal Van Speijck. Ini dimaksudkan agar Baranuri tidak sempat lagi untuk lari dari kapal dan menyelamatkan diri ke gunung. Sebetulnya cara yang dipakai Rozet “ kurang jujur ” . Lebih tepatnya dikatakan sebuah “ penipuan “.

Akhirnya, sesudah perjanjian perdamaian Onekore diperoleh secara resmi, Baranuri yang kala itu sempat dijanjikan akan dibebaskan nantinya, pada kenyataannya diasingkan ke Kupang dan kemudian ke Jawa. Hingga saat ini, kabar meninggalnya tidak terdengar lagi….dimana sang Pahlawan dimakamkan…

Kini, kisah Mari Longa dan Baranuri dengan masa kejayaannya tinggal cerita lusuh dan usang. Kesaktian dan kepemimpinan keduanya hanya selembar sejarah yang kini terlampir dalam buku Mulok. Namun sekiranya memberikan roh dan semangat bagi generasi penerusnya untuk terus membangun negeri ini dengan „topo doga, ae bere iwa sele“ (tanpa menyerah dan tak kenal lelah), tidak bermental instan, apatis, hedonis dan malas. Sebab ditangan generasi sekarang akan menentukan masa depan suatu daerah dan bangsa. Banyak ungkapan yang mengatakan jika ingin menghancurkan suatu bangsa maka hancurkanlah generasi mudanya? Kenapa?..Karena setelah itu tidak ada lagi generasi yang meneruskan semua cita-cita dan nilai perjuangan apalagi dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sumber :

http://www.kompasiana.com/roman/jejak-perjuangan-mari-longa

https://ooyi.wordpress.com

Senin, 09 November 2015

NDONA DAN KEMAJEMUKAN MASYARAKATNYA

Sebagaimana telah banyak diketahui, bahwa masyarakat merupakan kategori yang paling umum untuk menyebut suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi secara kontinyu dalam suatu wilayah atau tempat dengan batas-batas geografik, sosial, atau kultural yang tertentu.  Terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang digunakan untuk menyebut pengumpulan manusia dengan karakteristik tertentu. Misalnya yang menekankan bahwa interaksi yang kontinyu itu berlangsung dalam batas-batas wilayah geografik tertentu, sehingga orang-orang dalam batas wilayah itu saling berinteraksi secara lebih intensif daripada dengan orang-orang yang berada di luar batas itu. Hal ini juga tampak pada masyarakat Ndona Ende NTT.

[caption id="attachment_194" align="alignnone" width="300"]Salah satu Tarian Gawi Masyarakat Adat Saga Ende Tarian Gawi menjadi simbol kebersamaan dalam suatu lingkaran[/caption]

Secara etnisitas masyarakat Ndona merupakan sub etnis dari suku Lio. Pada masa sebelumnya kehidupan masyarakat ndona masih dalam polarisasi satu suku yang dikenal dengan istilah “ana tana” (penduduk asli). Namun dalam kehidupan sosial masyarakat dan seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan dan akulturasi yang menonjolkan sisi kemajemukan yang tidak hanya  pada sisi keyakinan saja.

Dengan arus perubahan sosial, saat ini di Ndona hidup berbagai etnis dan sub etnis yang bermukim di beberapa wilayah ndona. Adanya hubungan kerja/profesi, hubungan kawin mawin, menjadikan Ndona saat ini kian majemuk. Misalnya di Desa Nanganesa, terdapat beberapa warga masyarakat dari daerah lain yang hidup dan sudah membaur dengan masyarakat lokal dan menjadi warga Ndona. Demikian pula dengan beberapa daerah lain seperti Desa Manulondo, Kelurahan Onelako, Kelurahan Lokoboko dan di beberapa wilayah administratif lain di Ndona.

Faktor yang sangat menonjol terjadinya akulturasi ini dikarenakan adanya hubungan kawin mawin antara masyarakat luar dengan warga asli Ndona. Misalnya ada warga dari etnis Jawa, Etnis Melayu, Etnis Ngada, Sikka, Larantuka, Manggarai, Timor, Sumba, Sabu, Rote, dan bahkan dari Etnis Lio sendiri yang bermukim di Ndona dan menjadi warga Ndona. Selain itu adanya hubungan kerja atau profesi serta adanya hubungan jual beli tanah antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang menjadikan Ndona yang letaknya dengan Ibukota Kabupaten sangat dekat, kian menunjukan multietnis dan multicultural. Akan tetapi dalam fakta, hal tersebut tidak menghilangkan tradisi dan budaya masyarakat setempat dan bahkan masyarakat yang menetap di Ndona mengikuti budaya yang ada. Demikian pula dalam urusan adat istiadat dan kegiatan perekonomian khusunya, ada warga pendatang yang menetap di Ndona yang mengolah lahan masyarakat asli tanpa ada pejanjian bagi hasil ataupun imbalan.

Terdapat salah satu ungkapan yang menjadi filosofi hidup bagi masyarakat lokal sejak dulu seperti  yang dapat diterjemahkan secara bebas misalnya;

Muri Mera Leka Nua Ola (Hidup dan tinggal di kampung halaman)

Ma'e Suwi Nggewi, Ma'e Su Pu'u,  Ma'e Soke Tolo  (Jangan mencubit dan mencolek, jangan mencari masalah)

Ma'e Piki Kau Kami (Jangan berpandangan antara kamu dan kami)

Wora sa wiwi nunu Sa Lema, Sa Boka Sa Ate (Satu  suara satu hati)

Ndawi Lima Tau Pawe Ola Muri (Bergandnegan tangan untuk kebaikan hidup)

Ungkapan tersebut memilki makna yang dalam dan luas dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga seiring perkembangan social saat ini adagium “ ata mai dan ana tana” (pendatang dan penduduk asli) perlahan mulai hilang dan semuanya menjadi satu dengan identitas serta jati diri sebagai warga Ndona. Hal ini yang menjadi keunikan tersendiri bagi Ndona yang tidak hanya menjadi cermin  dalam toleransi beragama tetapi juga dalam kehidupan masyarakatnya yang multi etnis.

OLEH : IHSAN. D