Minggu, 29 November 2015
BANGGA MENJADI ATA ENDE LIO; ANTARA KEMAJEMUKAN DAN INTOLERANSI
Gadis-gadis berjilbab dan Para Suster Wajah Kudus Ndona menari tandak (gawi) dalam sebuah acara di Ndona
Tulisan ini tidak bermaksud menunjukan sikap primordial, namun terdapat suatu potensi yang ada di bumi kelimutu (Ende Lio) yang harusnya menjadi cermin bagi setiap warga negara. Bukan hanya karena keindahan alamnya dengan danau kelimutu ataukah karena pancasila lahirnya di Ende namun karena realita kehidupan masyarakatnya yang majemuk.
Akhir-akhir ini isu-isu berbau SARA dan lebih khusus sentiment agama kembali mencuat di Indonesia. Kasus Tolikara (Papua) dan kasus Singkil (Aceh) mengisi lembaran perjalanan bangsa di 2015.
Sejak bergolaknya ancaman ISIS di dunia, Indonesia juga diterpa ancaman dari salah satu organisasi yang mengatasnamakan agama merebak hingga ke daerah dan bahkan di NTT. Beberapa waktu lalu ada dugaan masuknya oknum-oknum yang dikaitkan dengan organisasi ISIS. Beberapa elemen daerah seperti para tokoh agama yang tergabung dalam FKUB, Forkopimda dan beberapa elemen lainnya dengan tegas menolak ISIS masuk NTT.
Kemudian pada medio 2015 disharmoni berbau SARA dan lebih khusus sentiment agama kembali mencuat di Indonesia. Kasus Tolikara (Papua) dan kasus Singkil (Aceh) mengisi lembaran perjalanan bangsa di 2015.
Pada media sosial jika ada postingan yang berkaitan dengan kedua kasus dan bahkan tentang ISIS sangat nampak statement-statement yang mendukung dan bahkan terkesan provokasi. Perang opini pada dunia maya, seakan-akan membenarkan tindakan-tindakan tersebut. Meskipun ada nitizen yang berusaha menjadi penengah dan menolak, namun bukan tidak mungkin pada dunia nyata statement-statement yang berkaitan dengan sentimen agama dapat memperkeruh suasana kehidupan masyarakat pada suatu wilayah.
Andaikan fenomena tersebut terjadi di NTT dan bumi kelimutu (Ende Lio) khususnya, entah seperti apa untuk mendeskripsikan kondisi masyarakatnya nanti. Masyarakat yang selalu menjaga toleransi bukan karena slogan dari pemerintah, masyarakat yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan kebersamaan mungkinkah dapat tercerai berai?
Apakah dalam satu komunitas masyarakat yang berbeda keyakinan harus saling bunuh membunuh? Apakah dalam satu keluarga antara Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ema-ana, ine-ana, ipa-imu, eda wuru, babo mamo, tuka bela, imu riu harus saling menjustice dan mengenyahkan anggota keluarga yang berbeda keyakinan?. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin hanya sekedar mimpi dan kekhawatiran, namun fakta di negeri seberang dan perang opini pada alam maya semoga tidak dibawa pada alam nyata orang Ende Lio khususnya.
Sudah kita ketahui bersama Ende Lio memiliki ideologi yang sama tentang Du’a Ngga’e sebagai rasa religiositas lokal, pandangan yang sama tentang sa’o ria, tubu musu keda kanga, pemahaman yang sama tentang turajaji, sua sasa, nggua tana watu, rasa yang sama sebagai satu turunan dalam konsep nge wa’u setuka, se ra, dengan pola hidup dan status sebagai Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ema-ana, ine-ana, ipa-imu, eda wuru, babo mamo, tuka bela, imu riu yang dikemas dalam budaya wurumana. Kita memiliki gerakan yang sama dalam satu irama dengan sodha yang termanifestasi dalam tarian gawi, kita memiliki prinsip yang sama dalam slogan wora se wiwi, nunu se lema, sa bhoka sa ate, boka ngere ki bere ngere ae, ndawi lima bou mondo kema sama.
Realita tersebut bukanlah kondisi yang diciptakan saat ini atau dibuat oleh kebijakan suatu pemerintahan namun itu adalah warisan budi dan daya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Ende Lio. Sebelum hadirnya agama-agama yang diakui Negara, budi dan daya tersebut sudah terpolarisasi dalam kehidupan nenek moyang kita dan mereka wariskan pada generasi penerusnya.
Inilah kekuatan kita orang ende lio yang juga tidak memandang ata mai (pendatang) dan ata mera (warga asli). Ende sebagai miniatur kehidupan bangsa yang majemuk telah mengilhamkan Presiden Bungkarno hingga lahirnya Pancasila. Sehingga dari Ende-lah Soekarno belajar tentang perbedaan dalam kehidupan dan keberagaman dalam agama yang melahirkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Disinilah yang menjadi kebanggaan bagi ata ende bahwa pemikir bangsapun belajar dari ende. Dari Ende-lah Soekarno menolak sistem Khilafah dalam menata kehidupan berbangsa dan benegara dengan merenung di bawah pohon sukun yang melegenda. Sehingga Soekarno-pun merasa dirinya “Ja’o Ata Ende”! (Saya orang Ende)!" Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952, sebagaimana dikisahkan kembali seorang 'bruder' SVD (bruder: biarawan Katolik) asal Ende.
Apakah Esa dalam bahasa ende hanya sebuah angka untuk sistem perhitungan? Rasanya tidak karena Esa selain dalam bahasa sansakerta juga dalam bahasa local Ende Lio yang artinya Satu merupakan pergulatan permenungan tentang suatu wujud yang Tunggal, tidak berbentuk". Esa yang dalam refleksi Bungkarno sebagai konsep untuk menyatukan suatu perbedaan keyakinan sebagaimana kehidupan ata ende lio saat itu. Ibarat pohon sukun, cabangnya banyak dengan berbagai bentuk namun berasal dari satu pohon, daunnya beruas tapi hanya ada satu pangkal.
Berdasarkan pemikiran besar dari sang proklamator tersebut, maka dalam kehidupan sehari-hari kita wajib menjunjung tinggi harmonisasi kehidupan diri dengan alam, sesama, nenek moyang, budaya, serta Tuhan sebagai penyelenggara kehidupan. Oleh sebab itu, apa yang dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Ende bahwa Ende menjadi kota Toleransi tidak hanya sekedar slogan semata. Toleransi yang diakronimkan oleh Kementrian Agama Kab. Ende sebagai ”Tekad orang Lio Ende rukun aman nyaman sejahtera iklas” bukan hanya indahnya rangkain kata dalam suatu kalimat. Tapi dalam diri orang Lio Ende yang merupakan mayoritas penduduk Kota Ende, terpatri tekad yang kuat untuk hidup dengan rukun sekalipun di tengah perbedaan. Dengan rukun, tentu orang akan merasa aman dan nyaman. Tekad ini tidak sekedar slogan semata namun harus diikuti oleh semua lapisan masyarakat beragama penghuni bumi Ende Lio tercinta ini, sehinggga menjadi suatu gerakan bersama bahkan menjadi budaya untuk menciptakan suasana Ende yang rukun, aman, nyaman, sejahtera dan iklas.
Sehingga sepatutnya jika ada fenomena yang mengakibatkan disharmoni kehidupan bermasyarakat, para pemeluk agama, pemuka masyarakat, pemerintah dan pemuka adat bersatu padu menolak dan melawan bentuk intoleransi yang berbau sentimenisme tersebut.
Dengan fakta-fakta kehidupan ende lio sejak dahulu, maka sepatutnya kebanggan akan kehidupan di ende lio terpatri dan termanfestkan dalam diri setiap ata ende lio dimanapun berada dan memberi contoh bagi daerah lain. Seperti Soekarno-pun merasa dirinya “Ja’o Ata Ende”! (Saya orang Ende)!" Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952. Lalu bagaimana dengan Kita Ata Ende???
AKU BANGGA MENJADI ATA ENDE.
OLEH : IHSAN D.
Sumber Pustaka :
Marlin Batto/Kompasiana.com
Utama.seruu.com/r
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya