Wilayah Nusa Tenggara Timur pada waktu itu merupakan wilayah hukum dari keresidenan Timor dan daerah takluknya (Residentie Timor en Onder Hoorig Heden).
Keresidenan Timor dan daerah bagian barat (Timor Indonesia pada waktu itu, Flores, Sumba, Sumbawa serta pulau–pulau kecil sekitarnya seperti Rote, Sabu, Alor, Pantar, Lomblen, Adonara, Solor). Keresidenan Timor dan daerah takluknya berpusat di Kupang, yang me miliki wilayah terdiri dari tiga afdeeling (Timor, Flores, Sumbawa dan Sumba), 15 onderafdeeling dan 48 Swapraja. Afde eling Timor dan pulau–pulau terdiri dari 6 onder afdeeling dengan ibukotanya di Kupang. Afdeeling Flores terdiri dari 5 onder afde eling dengan ibukotanya di Ende. Yang ketiga adalah Afdeeling Sumbawa dan Sumba dengan ibukota di Raba (Bima). Afdeeling Sumbawa dan Sumba ini terdiri dari 4 onder afdeeling.
Keresidenan Timor dan daerah takluknya dipimpin oleh seorang residen, sedangkan afdeeling dipimpin oleh seorang asisten residen. Asisten residen ini membawahi kontrolir/ Controleur dan Geraghebber sebagai pemimpin Onder afdeeling. Residen, asisten residen, kon troliir dan gezaghebber adalah pamong praja Kolonial Belanda. Para kepala onder afdeeling yakni kontrolir dibantu oleh pamong praja bumi putra ber pangkat Bestuurs assistant. (Ch. Kana, 1969, hal . 49–51).
Ende Sebagai Pusat Pemerintahan
Ditinjau dari luas wilayah, sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini, sesungguhnya Ende tidak banyak mengalami perubahan.
Namun dari penamaan wilayah yang membawahi, Ende telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan itu berkaitan erat dengan terjadinya pergantian pemerintahan dimulai dari sebelum kedatangan Belanda, zaman Belanda, zaman Jepang, dan masa setelah kemerdekaan.
[caption id="attachment_177" align="alignnone" width="300"] Kantor Asisten Residen Afdeeling Flores (Kini Rujab Wakil Bupati Ende)[/caption]
Penguasa adat yang pada masa Belanda disebut Raja telah ada di Ende pada abad ke XIX. Salah satu hasil penelitian menyebutkan nama-namanya seperti : Baba Pande, Baba Kamapo, Baba Kalaro Dando, Pera Ringgo, dan Loe Lusu (Sejarah Daerah NTT, 1978 : 70).
Pada masa penjajahan Belanda yang dimulai tahun 1915, Ende yang karena strategisnya menjadi ibukota Afdeeling Flores. Wilayahnya terdiri atas 5 (lima) Onderafdeeling, yaitu Onderafdeeling Ende, Onderafdeeling Flores Timur, Onderafdeeling Maumere, Onderafdeeling Ngada, dan Onderafdeeling Manggarai. Selain sebagai ibukota Afdeeling Flores, Ende juga menjadi ibukota Onderafdeeling Ende dengan wilayahnya terdiri atas swapraja Ende dan swapraja Lio. Posisi strategis Ende sebagai ibukota Afdeeling Flores dan juga ibukota Onderafdeeling Ende, terletak di Teluk Ende yang berbatasan di bagian barat dengan Tanjung Gunung Keo, dan di sebelah timur dengan Gunung api Iya.
Ende dipilih menjadi tempat kedudukan ibukota Afdeeling dan Onderafdeeling karena kota ini letaknya dipandang paling bagus dan strategis baik di Afdeeling Flores maupun Onderafdeeling Ende. Sebagai ibukota Afdeeling Flores, letak Ende berada di tengah-tengah pulau Flores, sehingga mudah dijangkau baik dari Flores bagian barat maupun Flores bagian timur. Dihadapan Ende terdapat sebuah pulau kecil yaitu Nusa Ende atau Pulau Ende. Pelabuhannya juga baik, cukup dalam dan airnya cukup tenang. Selain disinggahi kapal-kapal KPM, juga menjadi station kapal milik Gubernemen.
Dengan posisi yang sangat strategis ini, Ende menjadi tempat kedudukan para pejabat pemerintahan Belanda, seperti : Asisten Residen, Controleur, Civiel Gezagheber, seorang Kommis, seorang Kapiten, 2 (dua) orang Opsir, 120 orang serdadu (tentara), dokter tentara, dan agen-agen KPM. Di Ende telah ada sebuah sekolah, sebuah rumah sakit tentara dan civil (sipil), kantor pos (hulppostkantoor), gudang batu arang, dan toko-toko cina. Juga telah ada 20 kampung, yang utama yaitu kampung Amboegaga (Velden, 1914: 28).
- Ende Sebagai Pusat Pendidikan
Berkaitan dengan pendidikan, awal perkembangan pendidikan di Ende tidak dapat dipisahkan dari peranan Misi katolik. Menurut Pater Looijmans (Pastor stasi Lela), sebelum tahun 1907 di Ende belum ada orang katolik. Pendapat ini didasarkan pada perjalannya dari Lela ke Ende dan ke daerah-daerah pedalaman di Lio untuk melayani pada tanggal 23 Februari 1910. Dikatakan bahwa di Ende belum ada Kapela, sehingga Pater Looijmans terpaksa mempersembahkan kurban misa di pesanggarahan milik pemerintah (Belanda), dan Pater juga menginap di rumah Controleur A. Hens (Uran, 1961 : 121).
Pada tanggal 27 April 1914, P. Noyen tinggal di Ende dan menginap di pesanggarahan. Menurut penilaian P. Noyen, keluarga Hens adalah suatu keluarga katolik yang baik. Hens banyak berjasa untuk Misi di Flores. Hens berusaha menempatkan guru-guru katolik di bagian barat, juga dengan mengirim anak-anak raja dan anak-anak ketua adat pergi bersekolah di Lela. Putra raja Ndona, yang tadinya bersekolah di Kupang selama empat tahun, dipanggilnya pulang dan diantar bersekolah di Lela. Hingga bulan April 1914 telah ada 75 anak laki-laki dan 6 anak perempuan dari Onderafdeeling Ende yang mengenyam pendidikan di Lela, termasuk juga Pius Rasi Wangge. Pius Rasi Wangge inilah yang kemudian diangkat menjadi Raja Tana Kunu Lima pada tanggal 9 Oktober 1914.
[caption id="attachment_179" align="alignnone" width="300"] Anak-Anak Sekolah di Ende pada 31 Agustus 1924[/caption]
Pada hari minggu, 3 Mei 1914 P. Noyen menyelenggarakan ibadat di dalam sekolah di Ende, yang sebelumnya telah dibangun pada tahun 1910 (Belum diketahui tanggal dan bulan sekolah pertama ini dibangun). Ibadat tersebut juga dihadiri oleh tuan dan nyonya Hens. Ibadat itu dimeriahkan dengan nyanyian yang bagus yang dilakukan oleh para guru dan orang kristen. Dikatakan bahwa, Hens mendapat kesan yang mendalam, dan menyatakan bahwa agamanya mengena di hati dan sesuai dengan rakyat Ende. Dia berpendapat bahwa Residen sendiri memiliki perasaan yang sama tentang ini (Dari : Buku Harian Pater Noyen 1912-1914. Aslinya dalam arsip Provinsial SVD Belanda, salinanya dalam arsip Regio SVD Ende).
Pada tanggal 15 Mei 1915, Perfek Noyen ke Ende lagi dengan tujuan membangun tempat kediaman di Ndona. Selama tiga bulan Perfek bersama dua orang bruder tinggal di sebuah pondok kecil, lalu pindah ke barak kerja pada tanggal 8 September. Pada tanggal 10 Desember 1915, sebuah sekolah darurat dibuka di Ndona dengan 9 orang murid. Walaupun darurat, itu merupakan sebuah sekolah standard, yang dibuka dengan desakan Van Suchtelen. Dalam banyak surat, P. Noyen memuji semangat para bruder atas ketrampilan dan kerajinannya. Bruder-bruder itu merupakan misionaris pertama dari Uden yang dibuka pada tahun 1911, dan P. Noyen sendiri selaku rektor pertama mereka. Guru-guru dan tenaga kerja lainnya untuk sekolah standar tersebut disediakan dari Lela dan Larantuka. Sekolah standar yang baru di Ndona ini kemudian diberkati pada tanggal 2 Februari 1916 dengan dihadiri oleh para pejabat dari Ende, Raja Pius Rasi Wangge, dan para kepala desa. Kepala sekolah yaitu Greg. Pareira dari Lela, dan dibantu oleh Frans Fernandez dari Larantuka. Sementara itu, sekolah desa di Ende (yang dibangun di tahun 1910) dinaikan tingkatnya setaraf dengan sekolah pemerintah kelas dua, diperluas menjadi 5 kelas, dan dilengkapi dengan guru-guru yang mempunyai ijazah yang memadai (Laan, 1974: 1119).
Selanjutnya, dibuka sekolah lainnya, yaitu di Ndao (Schakeschool) pada tanggal 1 Juli 1925. Tahun 1917, Perfek Noyen berusaha membuka sekolah pertukangan (Ambachtschool). Mula-mula hanya bagian tukang kayu yang ditempatkan di Ndona. Pada tanggal 21 Mei dilakukan peletakan batu pertama pembangunan sekolah pertukangan ini. Pada tanggal 19 Maret 1928 gedung sekolah pertukangan sepanjang 48 meter dan lebar 10 meter ini diberkati oleh Mgr. Verstraelen (Laan, 1974: 1197).
[caption id="attachment_180" align="alignnone" width="300"] Pasar Ende Tempo Dulu[/caption]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya