Senin, 09 November 2015

NDONA DAN KEMAJEMUKAN MASYARAKATNYA

Sebagaimana telah banyak diketahui, bahwa masyarakat merupakan kategori yang paling umum untuk menyebut suatu kumpulan manusia yang saling berinteraksi secara kontinyu dalam suatu wilayah atau tempat dengan batas-batas geografik, sosial, atau kultural yang tertentu.  Terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang digunakan untuk menyebut pengumpulan manusia dengan karakteristik tertentu. Misalnya yang menekankan bahwa interaksi yang kontinyu itu berlangsung dalam batas-batas wilayah geografik tertentu, sehingga orang-orang dalam batas wilayah itu saling berinteraksi secara lebih intensif daripada dengan orang-orang yang berada di luar batas itu. Hal ini juga tampak pada masyarakat Ndona Ende NTT.

[caption id="attachment_194" align="alignnone" width="300"]Salah satu Tarian Gawi Masyarakat Adat Saga Ende Tarian Gawi menjadi simbol kebersamaan dalam suatu lingkaran[/caption]

Secara etnisitas masyarakat Ndona merupakan sub etnis dari suku Lio. Pada masa sebelumnya kehidupan masyarakat ndona masih dalam polarisasi satu suku yang dikenal dengan istilah “ana tana” (penduduk asli). Namun dalam kehidupan sosial masyarakat dan seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan dan akulturasi yang menonjolkan sisi kemajemukan yang tidak hanya  pada sisi keyakinan saja.

Dengan arus perubahan sosial, saat ini di Ndona hidup berbagai etnis dan sub etnis yang bermukim di beberapa wilayah ndona. Adanya hubungan kerja/profesi, hubungan kawin mawin, menjadikan Ndona saat ini kian majemuk. Misalnya di Desa Nanganesa, terdapat beberapa warga masyarakat dari daerah lain yang hidup dan sudah membaur dengan masyarakat lokal dan menjadi warga Ndona. Demikian pula dengan beberapa daerah lain seperti Desa Manulondo, Kelurahan Onelako, Kelurahan Lokoboko dan di beberapa wilayah administratif lain di Ndona.

Faktor yang sangat menonjol terjadinya akulturasi ini dikarenakan adanya hubungan kawin mawin antara masyarakat luar dengan warga asli Ndona. Misalnya ada warga dari etnis Jawa, Etnis Melayu, Etnis Ngada, Sikka, Larantuka, Manggarai, Timor, Sumba, Sabu, Rote, dan bahkan dari Etnis Lio sendiri yang bermukim di Ndona dan menjadi warga Ndona. Selain itu adanya hubungan kerja atau profesi serta adanya hubungan jual beli tanah antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang menjadikan Ndona yang letaknya dengan Ibukota Kabupaten sangat dekat, kian menunjukan multietnis dan multicultural. Akan tetapi dalam fakta, hal tersebut tidak menghilangkan tradisi dan budaya masyarakat setempat dan bahkan masyarakat yang menetap di Ndona mengikuti budaya yang ada. Demikian pula dalam urusan adat istiadat dan kegiatan perekonomian khusunya, ada warga pendatang yang menetap di Ndona yang mengolah lahan masyarakat asli tanpa ada pejanjian bagi hasil ataupun imbalan.

Terdapat salah satu ungkapan yang menjadi filosofi hidup bagi masyarakat lokal sejak dulu seperti  yang dapat diterjemahkan secara bebas misalnya;

Muri Mera Leka Nua Ola (Hidup dan tinggal di kampung halaman)

Ma'e Suwi Nggewi, Ma'e Su Pu'u,  Ma'e Soke Tolo  (Jangan mencubit dan mencolek, jangan mencari masalah)

Ma'e Piki Kau Kami (Jangan berpandangan antara kamu dan kami)

Wora sa wiwi nunu Sa Lema, Sa Boka Sa Ate (Satu  suara satu hati)

Ndawi Lima Tau Pawe Ola Muri (Bergandnegan tangan untuk kebaikan hidup)

Ungkapan tersebut memilki makna yang dalam dan luas dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga seiring perkembangan social saat ini adagium “ ata mai dan ana tana” (pendatang dan penduduk asli) perlahan mulai hilang dan semuanya menjadi satu dengan identitas serta jati diri sebagai warga Ndona. Hal ini yang menjadi keunikan tersendiri bagi Ndona yang tidak hanya menjadi cermin  dalam toleransi beragama tetapi juga dalam kehidupan masyarakatnya yang multi etnis.

OLEH : IHSAN. D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya