Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan memerlukan orang lain dalam berbagai hal, seperti bergaul, bekerja, tolong menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain. Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotong-royong, akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong. Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan.
Masyarakat Ende dan Lio adalah dua etnis yang mendiami wilayah administratif kabupaten Ende. Etnis Ende (orang Ende) tersebar di sekitar pusat administrasi kota Ende dan di pulau Ende, sedangkan etnis Lio (orang Lio) adalah populasi yang terbesar dengan cakupan wilayah adat terluas di kabupaten Ende. Ende Lio merupakan sebutan kesayangan, tidak lengkap kalau hanya menyebut Ende atau Lio saja, tapi menyebut Ende Lio sehingga sedap didengar, dan merupakan padanan kata yang selaras untuk masyarakat Ende Lio.
Masyarakat Ende Lio adalah salah satu dari sekian miliar masyarakat yang berbudaya di dunia. Ragam nilai budaya serta kearifan lokal Ende Lio yang dianut oleh masyarakat adalah seperangkat nilai yang diwariskan secara turun temurun dan sebagai bentuk identitas serta jati diri masyarakatnya. Karena menyangkut identitas maka budaya menjadi tata nilai fundamental untuk mengatur segala bentuk perilaku kehidupan manusia. Masyarakat Ende Lio secara historis budaya merupakan komunitas yang terlahir dan dibesarkan dengan nilai nilai budaya. Watak dan perilaku mencerminkan identitas budaya.
Segala bentuk usaha etis untuk mencapai tujuan hidup bersendikan nilai budaya, sehingga budaya menjadi unsur yang sangat menentukan arah serta gerak hidup dan masa depan masyarakat Ende Lio.
Dalam kehidupan masyarakat Ndona sebagai salah satu sub etnis Lio memiliki entitas budaya yang tidak jauh berbeda dengan budaya Lio lainnya. Banyak sekali nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur. Misalnya ragam nilai yang terkandung makna filosofis seperti ungkapan yang sering diutarakan oleh masyarakat Lio Ndona khususnya; “Ndawi Lima Kema Sama, Boka Ngere Ki Bere Ngere Ae, Wora Sa Wiwi Nunu Sa Lema Tau Senggu Nua Ola”, Artinya bergandengan tangan, bahu membahu dengan satu hati, satu suara, satu tekad untuk menjunjung kewibawaan dan peradaban. Ini adalah makna filosofis yang mengajarkan kepada generasi berikutnya untuk saling membangun kebersamaan sebagai saudara, saling berbagi dalam suka dan duka, saling tolong menolong dalam susah dan senang, saling memaafkan dalam kesalahan dan memandang penting tentang kebaikan dan kebenaran sebagai nilai luhur dalam kehidupan masyarakat Ende Lio.
[caption id="attachment_189" align="alignnone" width="300"] Suasana Minu Ae Petu (minum Air Panas) di Ndona[/caption]
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, Masyarakat Ndona khususnya mempunyai budaya yang sama dengan masyarakat Ende Lio dalami sebuah tradisi gotong royong, terutama dalam menunjang suatu acara/kegiatan yaitu apa yang dinamakan “Minu ae petu”. Kata “minu ae petu” adalah ungkapan bahasa daerah Ende Lio yang berarti “minum air panas”. Belum diketahui secara pasti kapan tradisi ini lahir, namum ia tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat, sebagai ungkapan kebersamaan diantara anggota masyarakat dalam membangun budaya ekonomi gotong royong. Tradisi “minu ae petu” pada masyarakat Ndona bukanlah merupakan suatu ritual adat istiadat namun didalamnya terdapat tatacara dan nilai-nilai adat istiadat. “Minu Ae Petu” dapat dilaksanakan kapan saja oleh keluarga-keluarga yang hendak melakukan sebuah acara (hajatan) besar.
Pada mayarakat Ndona “acara Minu Ae Petu” awalnya hanya untuk acara pernikahan yang secara proses budaya akan melibatkan tokoh-tokoh adat. Namun seiring perubahan zaman dan tingginya kebutuhan dalam menyelenggarkan suatu kegiatan sehingga “minu Ae Petu” inipun terjadi pada persiapan-persiapan hajatan lain seperti pembangunan rumah ibadah, sambut baru, khitanan hingga urusan pendidikan anak sekolah.
Secara khusus dalam konteks pernikahan acara “minu ae petu” hanya dilakukan oleh keluarga dari calon mempelai pria. Sebelum kegiatan “Minu Ae Petu” keluarga yang berhajat akan mengundang para tetua adat untuk menentukan waktu pelaksanaan Minu Ae Petu yang dikenal dengan sebutan “ So’o Kobe (Penentuan Waktu)”. Acara ini biasanya dilakukan satu bulan atau 3 minggu sebelum pelaksanaan kegiatan “Minu Ae Petu”. . Penentuan waktu ini wajib dilakukan agar dapat disesuaikan atau tidak terjadi benturan dengan acara atau kegiatan lain yang sudah disepakati oleh tetua adat ataupun kegiatan kemasyarakatn lainnya.
Setelah dilakukan penentuan waktu, keluarga dengan bantuan para pemuda disekitar akan mengundang atau memberitahu (wa’u nosi) keluarga, sahabat kenalan, tetangga, rekan kerja yang dikenal dengan sebuatan Aji Ka’e. Proses mengundang ini selain dilakukan secara lisan juga dilakukan dengan undangan tersurat. Sedangkan disisi lain terdapat undangan/pemberitahuan lisan secara khusus kepada pihak “weta ane” yang sudah menikah dengan keluarga lain (dari garis keturunan saudari) yang masih berhubungan/bertalian dengan keluarga calon mempelai pria untuk membicarakan tentang belis (mbabho buku) yang belum diselesaikan. Dalam Wa’u Nosi (pemberitahuan) juga memberitahu “Eda Embu (Saudara kandung dari Ibu calon mempelai pria) terkait dengan pelaksanaan Minu Ae Petu. Demikian juga pihak keluarga calon mempelia pria akan memberitahu keluarga calon mempelai wanita tentang waktu pelaksanaan Minu Ae Petu tersebut karena waktu yang sama (pada saat pelaksanaan minu ae Petu) akan dilakukan juga proses pembicaraan belis.
Pada hari pelaksanaan acara “minu ae petu” ini, yang datang selain undangan juga pihak weta ane dan para tetua adat. Posisi duduk antara undangan (Aji Ka’e) berbeda dengan para tetua adat dan pihak weta ane. Hal ini karena untuk pihak weta ane kandung yang telah berumah tangga akan dilakukan pembicaraan tentang belis (mbabho buku) yang belum terealisir /belum selesai yang biasanya pihak weta ane akan mengutus perwakilan sebagai juru bicara Dalam proses pembicaraan tentang belis dilakukan dan disaksikan oleh tua adat baik dari sisi uang dan berharga seperti emas. Besaran uang dan barang berharga tersebut akan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan saat ini namun hal ini tidak menjadi harga mati karena dapat dilakukan tawar menawar antara tua adat dengan juru bicara keluarga dari pihak weta ane. Ketika telah terjadi kesepakatan maka akan dicatat oleh salah seorang pencatat yang ditugaskan yang nantinya akan diberikan kepada keluarga yang berhajat. Sedangkan bagi keluarga weta ane yang bersifat kekerabatan hanya memberi uang dalam jumlah yang disesuaikan dengan kemampuan.
Belis yang dibicarakan antara pihak Weta Ane Kandung dengan Tetua Adat biasanya sudah dikonfirmasi awal oleh keluarga yang berhajat (calon mempelai pria) dengan jenis belisnya yang belum diselesaikan misalnya; Buku Ine(Belis Untuk Mama Kandung/biasanya emas dan uang), Buku Eda Ka’embu (Belis Untuk Om Kandung), Buku Rera Rate (Belis Untuk keluarga yang membayar belis mama kandung dari calon mempelai), Buku Ema Paga (Belis untuk bapak kandung). Jenis-jenis belis ini tidak harus diselesaikan saat itu namun masih dapat ditunggak hingga masa-masa yang akan datang bahkan hingga diwariskan kepada keturunan sehingga terdapat istilah lokal “ Su’u Leka Wuwu, Wangga Leka Wara” (artinya akan menjadi tanggungan dimasa yang akan datang) dan ini akan dibicarakan kembali ketika dikeluarga yang berhajat melakukan kembali acara yang sama jika ada akan dilangsungkan persiapan pernikahan anak laki-laki.
Dalam acara ini, setelah terjadi kesepakatan dalam forum pertama (pihak yang melakukan hajatan minu ae petu/calon mempelai pria) apabila pihak calon mempelai wanita dari daerah yang sama (masih dalam wilayah Ndona) pada hari yang sama juga akan mengutus dua orang juru bicara untuk membicarakan belis dari keluarga calon mempelai pria yang melaksanakan hajatan “Minu Ae Petu”. Di keluarga calon mempelai wanita jenis belis yang akan dibicarakan tetap sama dengan jenis belis yang disebut di atas dan ketentuanpun tetap sama jika belum mampu menyelesaikannya. Belis-belis yang diberikan kepada keluarga mempelai wanita ini (misalnya buku ine, buku eda embu) nantinya akan diberikan kembali kepada calon pengantin dalam bentuk barang-barang misalnya pakian pengantin, tempat tidur, lemari, beras, kain hitam, sarung dan beberapa barang lainnya. Sehingga dapat dikatakan belis tersebut hanya merupakan tempat persinggahan sementara karena nantinya akan diperuntukan bagi pengantin.
Di wilayah Ndona dalam acara “minu Ae Petu” ini untuk (Aji Ka’e) yaitu para tetangga, rekan kerja atau kenalan lainnya, jumlah uang yang diberikan tergantung kemampuan dan kerelaan dari tamu undangan. Biasanya uang tersebut langsung diberikan kepada pencatat untuk merekap banyaknya tamu undangan (Aji Ka’e) yang datang dan besarnya jumlah uang. Meskipun tidak ditetapkan jumlah uang secara pasti berapa besarnya (sekedar kemampuan dan biasanya berdasarkan tingkat kedekatan hubungan keluarga). Besarnya uang yang diberikan oleh keluarga dekat ini, dicatat tersendiri oleh perwakilan tuan rumah (pencatat) sebagai pegangan dalam memberikan bantuan balasan apabila dikemudian hari si pemberi melaksanakan “minu ae petu” yang sama.
Disaat tamu undangan datang, Untuk menjamu tamu, biasanya disiapkan makanan-minuman seadanya. Ada yang menjamu tamunya dengan makanan ringan (kue-kue, kacang-kacangan, rokok, the/kopi/air putih kemasan, dan sebagainya), ada pula yang menjamu dengan makanan sebagaimana hidangan di acara pesta, hanya menunya yang sedikit lebih sederhana atau dengan menu makanan lokal.
Di dalam acara tersebut, semua orang bebas mengambil posisi duduk pada kursi yang telah disiapkan sambil berbincang-bincang atau bercengkrama satu sama lain, dengan lama waktu bertamu yang tidak dibatasi. Bisa duduk lama, bisa juga Cuma sebentar saja, sesuai dengan waktu luang masing-masing orang.
Tradisi ini merupakan upaya untuk membantu keluarga yang akan melangsung pernikahan anak laki-laki karena secara system kekerabatan di Ndona menganut system patrilinear. Sehingga dalam urusan budaya tersebut pihak calon mempelai pria wajib meberikan belis bagi keluarga calon mempelai wanita. Bagi masyarakat Ndona, pernikahan merupakan urusan yang besar sehingga perlu melibatkan masyarakat lain dengan budaya gotong royong dalam mempersiapkan acara tersebut.
[caption id="attachment_190" align="alignnone" width="300"] Salah satu Acara Pernikahan Masyarakat Muslim di Ndona[/caption]
Setelah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak maka dimulailah kesepakatan Tentang waktu pelaksanaan acara pernikahan. Kesepakatan acara pernikahan ini akan dilakukan oleh keluarga mempelai wanita dan selanjutnya disampaikan kepada keluarga mempelai pria. Sehingga urusan selanjutnya sudah merupakan urusan pada ritual keagamaan dalam prosesi pernikahan.
Demikianlah tradisi ekonomi gotong royong ini, tak hilang (legang) oleh waktu, tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat secara spontan guna menghadapi tuntutan kehidupan. Kehadirannya sangat membantu meringankan beban keluarga, apalagi ditujukan untuk kepentingan yang positif seperti ekonomi, pendidikan, perumahan, atau kepentingan bersama.
Oleh: Ihsan. D
Sumber Kepusatakaan:
- dakwatuna.com
- blogspot.com
- http://bukaenbe.com/?p=574
- kebudayaan.kemdikbud.go.id
- primayanti.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya