Pada postingan sebelumnya penulis pernah memaparkan tentang tenun ikat ende lio ditengah hegemoni tekstil modern. Kali ini penulis mengajak pembaca sekalian untuk mengenal lebih dekat macam-macam kain tenun ikat ende.
Pada masyarakat Ende Lio kegiatan menenun merupakan pekerjaan pokok bagi kaum hawa disela-sela kegitan di dapur maupun dikebun. Menenun merupakan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Hampir setiap ibu-ibu melakukan aktifitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk kepentingan urusan adat istiadat maupun berkaitan dengan ekspresi nilai estetika dan juga untuk kepentingan ekonomi.
Seperti tulisan sebelumnya bahwa tenun ikat ende lio ditengah hegemoni tekstil modern pamornya kalah dengan kain-kain tiruan/imitasi tekstil modern. Namun kini masih ada secercah harapan untuk mengangkat kembali eksistensi kain tenun ikat.
Mungkin diantara kita pernah membaca pada traveler.detik.com tanggal 21/8/2015 dengan judul Tenun Ikat, Kain Khas Ende Yang Mendunia. Tenun ikat Ende dengan motifnya yang khas seringkali diburu traveler untuk oleh-oleh. Tak hanya traveler lokal, traveler mancanegara pun banyak yang mengincar kain tenun Ende untuk dibawa pulang ke negaranya.
Sehingga dengan fenomena belakangan ini pamor produk atau karya kerajinan tangan (handmade) berhasil mendapatkan gengsi tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat perkotaan; terutama mereka yang menghargai produk seni dan budaya tradisional. Kain tenun ikat tidak dibuat menggunakan mesin yang dapat menghasilkan banyak barang sekaligus dan seragam. Karenanya, saat Anda membeli selembar kain ikat, dapat saja itulah satu-satunya yang ada di dunia. Tak ada barang hasil karya tangan yang persis sama. Terlebih lagi, kain tenun ikat dan barang handmade lainnya dibuat dengan mengandalkan beberapa indera manusia yang tentunya tidak dimiliki sebuah mesin. Indera yang dibantu akal pikiran mampu menghasilkan potensi dan kreasi yang tak terbatas dalam menghasilkan sebuah karya bernilai seni tinggi.
Sebagai generasi Ende Lio dan warga Negara Indonesia kita harusnya bangga akan warisan budaya masa lampau karena banyak sekali nilai-nilai tinggi yang terkandung didalamnya. Salah satu warisan budaya itu sendiri adalah dengan adanya keberagaman kain tradisional khususnya yaitu kain tenun ikat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tenun ikat sebagai salah satu karya bangsa Indonesia yang tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia
Melalui kain tenun ikat tradisional kita dapat melihat keberagaman budaya Nusantara. Kain tidak saja hanya dilihat dari ragam motifnya namun kita juga dapat melihat jenis benang yang dipakai, teknik pembuatannya yang tradisional tetapi kita juga dapat mengenal berbagai fungsi kegunaan dan arti kain tenun ikat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang dimana semua itu mencerminkan adat istiadat dan kebudayaan masing-masing daerah.
Tenun ikat atau kain ikat adalah kriya tenun Indonesia berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan atau benang lungsin yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami.
Tenun merupakan salah satu jenis seni kriya Nusantara yaitu kriya tekstil. Tenun merupakan salah satu kerajinan seni yang patut dilestarikan. Seperti yang dikatakan Joseph Fisher (dalam Suwati Kartiwa, 1986: 1) Indonesia adalah salah satu Negara yang menghasilkan seni tenun yang terbesar terutama dalam hal keanekaragaman hiasannya. Dalam tenun ikat terdapat beberapa aspek yang menjadi nilai yang terkandung di dalam proses maupun hasil dari selembar tenun ikat. Aspek-aspek ini dapat diuraikan antara lain;
- Aspek Sosial : Dalam aspek sosial kain tenun banyak digunakan untuk upacara-upacara adat seperti kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Bahkan lambang dan warnanya pun telah disesuaikan.
- Aspek Ekonomi : Kain tenun dalam aspek ekonomi dipakai sebagai alat pertukaran. Pertukaran dalam arti barang yang dipertukarkan dengan barang lainnya.
- Aspek Religi : Pada aspek religi terlihat bahwa ragam hias yang diterapkan mengandung unsur perlambangan yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama tertentu. Dalam upacara keagamaan kain tenun khusus digunakan oleh pemuka agama atau dukun.
- Aspek Estetika : Aspek estetika terlihat pada keterampilan, ketekunan didalam menciptakan suatu karya. Baik dari segi garis, motif dan warnanya dan menghasilkan suatu nilai estetika.
Tenun ikat atau kain tenun merupakan kriya tenun berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan dan lungsi yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam pewarna. Istilah ikat didalam menenun ini menurut Loeber dan Haddon (1936) diperkenalkan di Eropa oleh Prof.A.R Hein pada tahun 1880 dan menjadi istilah dalam bahasa Belanda yang disebut ikatten dan dalam bahasa Inggris kata ikat berarti hasil selesai dari kain dengan tehnik ikat dan to ikat untuk arti proses dari tehniknya (dalam Suwati Kartiwa, 1989: 5).
Sedangkan motif yang dibuat pada jaman itu terdapat penggambaran yang berasal dari jaman Neolitikum yang diterapkan pada kain pakaian tersebut sebagai corak. Corak tersebut diantaranya seperti; nenek moyang, pohon, perahu, arwah dan sebagainya (dalam Suwati Kartiwa, 1989: 7-8).
Dalam tenunan Ende dan Lio biasanya berwarna dasar merah tua kecoklatan, ditenun dua kali dan dijahit dengan memisahkan bagian tengah (one) dan bagian kaki (ai). Bagian tengah mempunyai ikatan sebagai pola khusus, sedangkan bagian kaki senantiasa diperkecil sehingga setiap jalur itu mempunyai nama masing-masing sampai jalur yang paling kecil.
Pada kain tenunan untuk pria Ende dan Lio biasanya berwarna dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin yang sejalan dengan jalurnya mendatar yang biasa disebut Ragi/Luka. Untuk tenunan wanita Ende dan Lio adalah motif Flora dan Fauna. Seperti kuda, daun, burung, lalat atau sayap lalat yang disebut lawo/zawo. Sedangkan untuk motif kain dan selendang didominasi oleh motif bunga yang diselingi garis hitam kecil diantara motif-motifnya dengan rumbai-rumbai pada bagian ujung.
Adapun beberapa jenis hasil tenun ikat dapat dipaparkan antara lain;
1.Semba (kabupaten Ende)
Jenis motif : selendang laki-laki
Jumlah motif : vertikal 2x4 motif, horisontal 2x6 motif
Jumlah lembar : 2 (dua) singi, setiap Singi telah disatukan dengan bagian Onenya
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kelurahan Onelako dan Desa Manulondo, Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende
Semba adalah selendang kebesaran para Mosalaki dan Ria bewa yang dipakai pada upacara adat yang sangat ritual. Cara pembuatannya pun cukup rumit karena banyak persyaratannya.
Semba terdiri dari 2 (dua) lembar yang dijahit menjadi satu lembar selendang semba, dengan posisi motifnya saling berhubungan. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
Semba adalah selendang kebesaran para Mosalaki dan Ria bewa yang dipakai pada upacara adat yang sangat ritual. Cara pembuatannya pun cukup rumit karena banyak persyaratannya.
Semba terdiri dari 2 (dua) lembar yang dijahit menjadi satu lembar selendang semba, dengan posisi motifnya saling berhubungan. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
2. Lawo Jara Nggaja
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 10 motif
Horisontal 2x7 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo, Kelurahan Onelako Kecamatan Ndona
Nama Lawo Jara Nggaja diberikan sesuai dengan namanya atau nama dari motif Lawo tersebut yaitu “Jara Nggaja”. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini adalah pakaian kebesaran bagi istri para tua adat (Mosa Laki) disekitar lokasi pembuatan dan dipakai pada saat upacara adat. Yang perlu diperhatikan adalah cara memakai sarung ini yaitu harus searah dengan motif Jara Nggaja yang berdiri, jangan sampai terbalik motif kaki dari Jara Nggaja arahnya keatas. Arti dari Jara NGGAJA yaitu KUDA dan GAJAH
3.Lawo Pundi
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 6 motif, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) singi, 1 (satu) one
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka Lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Desa Nggela, Kec. Wolojita, Kab. Ende
Pada dasarnya motif Lawo Pundi adalah bermotif serangga dan binatang melata. Motif ini jarang ditemui di Kota Ende. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif Lawo Pundi dibuat berdasarkan hasil tiruan dari manik-manik pada pundi-pundi di jaman dahulu sehingga Lawo Pundi bermotif persegi empat seperti pundi dengan butu seke. Lawo pundi selain dipakai oleh istri-istri Mosa Laki dan tua-tua adat di Nggela, juga dikenakan oleh para gadis keturunan Mosa Laki untuk menari tarian Mure.
4. Lawo Soke
Jenis motif : sarung perempuan
Jenis Lawo Soke : Soke mata ria atau mata karara dan Soke Bele Kale
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2x6 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, terdiri dari 2 (dua) Singi, 1 (satu) One
Ukuran : 200 cm x 100 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif Soke dibuat berdasarkan meniru daun sukun atau wunu tere yang berdiri dan menempel pada lawo dan kata soke yang artinya menancap, sehingga dari cara menirunya yaitu pada daun sukun yang berdiri, orang menamakan jenis lawo ini yaitu lawo soke. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Adapun motif pada lawo ini diantaranya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami telu yang bentuknya seperti sayap lalat, jenis orang menamakan soke bele kale. Jenis sarung soke dan soke bele kale biasanya dijadikan sarung atau lawo pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.
a. Lawo Soke Mata Ria
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif Lawo Soke Mata Ria dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan kata Soke artinya menancap dan Ria artinya besar. Jadi Lawo Soke Mata Ria artinya motif daun sukun yang besar yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara adat baik yang resmi maupun tidak resmi.
b. Lawo Soke Mata Lo'o
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 2 Singi dan 1 One
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
Motif Lawo Soke Mata Loo dibuat berdasarkan meniru daun sukun yang berdiri tempel pada lawo dan kata Soke artinya menancap dan Loo artinya kecil. Jadi Lawo Soke Mata Loo artinya motif daun sukun yang kecil yang dimunculkan pada sarung/lawo. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya adat baik yang resmi maupun tidak resmi.
5. Lawo Nepa Mite
Jenis motif : sarung perempuan
Jenis lawo : Nepa mite dan Nepa Te’a
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran : 200 cm x 150 cm
Lokasi pembuatan : di pesisir pantai selatan dari daerah Lio Kab. Ende
Pada jaman dahulu sudah terjadi pertukaran budaya antara kerajaan-kerajaan di dunia dengan para petinggi Flores khususnya di Ende Lio. Tidak heran bila Ende Lio memiliki motif Nepal. Dinamakan lawo Nepa Mite karena motifnya berasal dari Nepal dan warna motifnya hitam putih atau hitam nilam (nggili).
Lawo Nepa Mite dengan Lambu Mite Mina biasa dipakai oleh ibu-ibu Mosalaki saat upacara adat dan ritual lainnya. Dan sarung jenis ini jarang dipakai oleh para gadis, kecuali Lawo Nepa Te’a atau motif utamanya diberi warna warna kembo atau bahan benang kuning.
6. Lawo Nepa Te’a
Jenis motif : sarung perempuan
Jenis lawo : Nepa Te’a dan Nepa mite
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama, 4 motif ½ motif utama, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar, motif utama terletak di bagian Singi
atau dibagian kaki bila dipakai
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : di pesisir pantai selatan desa Wolo Topo Kec. Ndona hingga Watu Neso Kecamatan Lio Timor Kabupaten Ende
Lawo Nepa Te’a merupakan pengembangan dari Lawo Nepa Mite karena seluruh motif semuanya sama. Perbedaannya hanya pada motif utama yang diberi warna kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning.
Lawo Nepa Te’a artinya lawo nepa berwarna kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh kaum perempuan baik ibu-ibu maupun gadis-gadis pada acara apa saja.
7. Senai
Jenis motif : selendang laki-laki (untuk menari)
Jumlah motif : vertikal 2 mata kopo dan 1 mata one, Horisontal 2x6 motif
Jumlah lembar : 1 (satu) lembar, terdiri dari Singi dan One
Ukuran : 200 cm x 50 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo –, Kel. Onelako Kec. Ndona
di pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda Hingga kecamatan Lio Timur Kabupaten Ende.
Hampir semua ibu-ibu pengrajin dapat membuat selendang Luka atau Senai, tetapi motifnya berbeda-beda sesuai daerah masing-masing. Gambar dibawah ini merupakan contoh Senai atau Luka Mata Kopo dari desa Nggela Kec. Wolojita.
Daerah kecamatan Nangapanda – kecamatan Ndona – kota Ende dan sekitarnya menamakan Senai karena terdiri dari satu lembar. Sedangkan di daerah Lio menyebutnya Luka karena dipakai oleh kaum pria. Warna dasarnya adalah hitam dari nila.
Selendang ini biasa dipakai saat Wanda Pa’u (tarian massa) dan tarian khas daerah Ende Lio pada acara-acara resmi. Sarung Luka bagi di daerah kota dan sekitarnya adalah sarung laki-laki atau Luka Mite. Sedangkan Luka Mite bagi daerah Lio adalah Ragi Mite.
8.Lawo manu
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk Lawo Soke : Soke mata ria atau mata karara Soke bele kele
Jumlah motif : vertikal 7 motif, Horisontal 2x6 motif
Jumlah lembar : 3 lembar terdiri dari 1 one dan 2 singi
Lokasi pembuatan : desa Nggela dan Wolojita, Kecamatan Wolo jita
Motif Lawo Manu dibuat berdasarkan meniru seekor binatang Ayam. Yang berdiri tempel pada Lawo dan kata Manu yang artinya Ayam.
Adapun motif ini diantara motifnya disisipkan dengan motif tambahan yaitu mata gami lima dan gami telu, yang bentuknya seperti sayap ayam, jenis ini orang menamakan Lawo Manu. Sarung ini biasanya dijadikan sarung atau Lawo pengantin perempuan disekitar lokasi pembuatannya.
9. Mata rote
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 1 motif utama dan 4 motif ½ utama, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 lembar, motif utama terletak dibagian singi atau dibagian kaki bila dipakai Lokasi pembuatan : pesisir pantai selatan dari desa Wolotopo, Kec. Ndona Hingga kota Ende dan sekitarnya.
Lawo Mata Rote merupakan pengembangan dari Gami Tere Esa karena seluruh motif semuanya sama. Perkembangan hanya pada motif utama karena diberi dengan warna kembo atau bahan dasarnya benang berwarna kuning. Lawo Mata Rote artinya motif yang kecil berwarna putih kuning. Sarung ini biasa dipakai oleh semua kalangan baik para ibu maupun para gadis untuk acara adat dan acara lainnya.
10.Lawo Mberhe Arhe/Bele kale
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 2 mata pada singi dan 1 mata pada one
Jumlah lembar : 1 lembar, terdiri dari singi dan one
Lokasi pembuatan : pesisir pantai selatan dari kecamatan Nangapanda, Ende dan Ende selatan.
Bele Kale artinya sayap lalat. Sarung ini hampir dapat dibuat oleh semua pengrajin tenun ikat, hanya motifnya berbeda-beda sesuai dengan daerah masing-masing. Sarung ini dipakai pada saat upacara adat atau acara keagamaan baik resmi maupun tidak resmi.
11. Lawo Mata Anggo
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 3 motif, Horisontal 5 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar yaitu dari 1 One dan 2 Singi
Ukuran : 200 cm x 140 cm
Motif utama : motif mata anggo
Lokasi pembuatan : desa Jopu – Kec.Wolowaru – kota Ende dan sekitarnya
Motif lawo Mata Anggo sebenarnya diambil atau meniru motif batik dan bagi masyarakat Ende Lio dinamakan Kae Anggo. Adapula gabungan motif batik dengan motif dasar tradisional seperti Seke Bele Kale atau Soke Mata Lo’o dengan 5 (lima) gami. Sarung ini sebenarnya gabungan dari motif batik dan motif tenun ikat tradisional kabupaten Ende dan masih dianggap baru. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga dan acara lainnya baik yang resmi maupun tidak resmi.
12. Lawo One Mesa
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2x6 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : desa Manulondo – kec. Ndona –Kab. Ende
Lawo One Mesa atau Lawo Mboko Wea atau Lawo Sue, karena yang membuat motif ini pertama kali adalah Ibu Theresia Sue (almr) asal Ndona, yang adalah generasi sebelum Indonesia merdeka. Sarung ini berbentuk Mata Kopo dan bagian tengahnya diisi dengan motif Mboko Wea atau motif sesuai dengan posisi motifnya saling berhubungan dengan setiap lembar. Dikatakan Lawo One Mesa karena ketiga lembar dengan motif yang sama dan jenis sarung ini memang agak rumit dibuat. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini biasa digunakan sebagai sarung pengantin perempuan. Sarung ini tergolong langka karena yang membuatnya masih bersifat turun temurun. Jenis lawo ini sekarang berkembang menjadi bermacam jenis motif tetapi polanya tetap sama dengan aslinya dan kini telah menjadi motif dasar lembaran.
13. Lawo Pea Kanga
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2x13 motif Jumlah lembar : 3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi - Ukuran : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : Kecamatan Nangapenda – Kecamatan Ndona,Kota Ende dan sekitarnya – Kabupaten Ende
Lawo Pea terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Pea biasa dan Pea Kanga (seperti terlihat pada gambar) karena terdapat penambahan motif kanga atau jari pada bagian tengah motif. Ada yang mengatakan bahwa nama sarung ini diambil dari nama si pembuat pertama motif sarung ini yaitu Ine Pea. Ada pula yang mengatakan Pea adalah Pi’a atau dipotong pada motif Lawo Pea sehingga arti dari nama sarung tersebut adalah dipotong. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Sarung ini dipakai pada saat acara keluarga atau acara keagamaan dan juga untuk Wai Laki atau memberikan kepada saudara pada acara adat.
Yang sangat diperhatikan adalah sarung ini tidak boleh dipakai oleh para gadis karena dipercaya gadis-gadis sulit mendapatkan jodoh. Hal ini karena sesuai dengan arti sarung yaitu jodohnya selalu dipotong oleh orang lain.
14. Lawo Jara
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : motif Jara (kuda) dan mata Saliwu
Jumlah motif : vertikal 18 motif, Horisontal 2x13 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) terdiri dari 1 (satu) One dan 2 (dua) Singi
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Bagian dari Semba : Upu – Lere – Bharaka lombo – Singi – One
Lokasi pembuatan : desa Manu Londo – Kel. Onelako - Kota Ende dan sekitarnya – Kab. Ende Ende
Nama sarung ini sesuai dengan dengan bentuk motifnya yaitu jara atau kuda dan untuk menambah motif diantara kuda yaitu ditambahkan motif mata saliwu. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif jara sebenarnya bagian dari motif lawo jara nggaja hanya jumlah gaminya agak berbeda. Sarung ini digunakan oleh kaum wanita pada saat acara keluarga dan acara keagamaan dan cara memakainya harus sesuai dengan motif kuda berdiri sehingga tidak terbalik.
15. Lawo gami tera esa
Jenis motif : sarung perempuan
Jumlah motif : vertikal 18 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Wolopau – Nggela – Kecamatan Wolojita Tenda – Jopu – Kecamatan Wolowaru
Nama sarung ini disesuaikan dengan pembuatannya yaitu setiap motif mempunyai 9 (sembilan) gami atau sembilan ikatan benang, sehingga orang menamakannya Lawo Gami Tera Esa. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Dari setiap jenis lawo, sarung inilah yang sangat sederhana cara membuatnya dan tidak serumit sarung jenis lainnya.
Sebenarnya motif sarung ini diambil dari bagian motif lawo kelimara dan sarung ini sangat digemari oleh para gadi kabupaten Ende dan sekitarnya. Sarung ini dipakai pada saat mana saja terutama para gadis menggunakan sarung ini sebagai pakaian tarian massa, karena mudah diperoleh bila dibutuhkan.
16. Lawo Mata sinde
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : motif mata sinde dan lawo Kelimara
Jumlah motif : vertikal 4 motif mata sinde, 1 motif kelimara dan 5 motif lainnya,
Horisontal 2x6 motif + bharaka
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar
Lokasi pembuatan : desa Ngaluroga Kec. Ndona dan Kecamatan Wolojita
Motif sarung ini sebenarnya meniru motif dari salah satu jenis selendang sinde ukurannya paling kecil untuk digunakan sebagai ikat pinggang atau kepala laki-laki. Jenis selendang sinde sekarang ini hampir punah karena jarang sekali orang membuatnya. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Motif mata sinde terdapat pada bagian lembaran one atau tengah sedangkan pada bagian bawah kaki bila dipakai motifnya hampir sama dengan motif dari lawo kelimara.
Untuk mendampingi motif mata sinde, ada 2(dua) motif dari lawo nepa te’a metu serta motif lainnya dari bagian sarung.
Jenis sarung ini biasanya digunakan oleh ibu-ibu maupun para gadis pada upacara adat maupun upacara agama.
17. Lawo Keli Mara
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : Gunung, Teo Timbu, Gami tera es
Jumlah motif : vertikal 2 motif utama an Teo timbu dan 12 motif gami tera esa
Horisontal 2x motif utama
Jumlah lembar : 3 (tiga) hingga 4 (empat) lembar
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Nggela – Wolo pau - Wolo jita – Tenda – Jopu – Mbuli – Jopu Kecamatan Wolojita dan Kecamatan Wolowaru
Kelimara adalah lawo/sarung yang bermotif gunung, yang memberi kehidupan kepada umat manusia atas cinta kasih yang Maha Penyayang. Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Nama sarung ini disesuaikan dengan bentuk motifnya yang terdapat pada sarung tersebut. Keunikan dari sarung ini yaitu motif utamanya terletak pada sisi sarung atau lembaran luar dari bagian sarung atau pada bagian kaki bila dipakai. Sedangkan pada bagian lembaran yang lain motifnya berbentuk Gami tera esa bila bagian atas tidak dipakai motif utama.
Sarung ini digunakan sebagai sarung pengantin perempuan dan juga digunakan oleh ibu-ibu mosalaki pada saat upacara adat.
Lawo Kelimara terdiri atas 2 jenis motif yaitu : Motif berbentuk gunung yang menjulang tinggi. Ada juga berbentuk gunung kecil bagian tengah motif dan bagian atasnya berbentuk seperti rumah adat. Lawo Kelimara dengan motif utama terdapat pada kedua sisi lawo dengan 9 (sembilan) motif Gami tera esa serta 2 (dua) motif Teo timbu.
18. Lawo mangga
Jenis motif : sarung perempuan
Bentuk motif : Mata Bhuja dan Mata Ndala
Jumlah motif : vertikal 12 motif, Horisontal 2x4 motif
Jumlah lembar : 3 (tiga) lembar dengan motif yang sama
Ukuran : 200 cm x 160 cm
Lokasi pembuatan : Desa Manulondo – desa Lokoboko – kel. Onelako, Kec. Ndona, di pesisir kec. Nangapanda, Ende dan Kota Ende sekitarnya
Warna dasarnya adalah hitam dari nila. Disebut lawo Mangga atau Maga karena bentuk motifnya seperti bambu palang pada pagar. Lawo mangga atau maga yang artinya bambu palang pagar. Sedangkan bentuk motifnya adalah jala ikan (Mata Ndala) dan Bhuja (bagian sirip ekor ikan).
Sarung ini biasa dipakai sebagai pakaian sehari-hari oleh ibu-ibu dan para gadis.
19. LUKA/RAGI
[caption id="attachment_642" align="alignnone" width="300"] Luka/Ragi Ende Lio[/caption]
[caption id="attachment_643" align="alignnone" width="287"] Luka/Ragi Ende Lio[/caption]
berwarna dasar hitam atau biru kehitaman, mempunyai jalur-jalur yang jelas sepanjang lungsin yang sejalan dengan jalurnya mendatar dan merupakan kain tenun untuk kaum pria.
Demikian beberapa ulasan tentang jenis dan motif tenun ikat ende lio. Mudah-mudahan dan memperkaya khasanah pengetahuan lokal dan semoga tenun ikat ende lio makin mendunia dan dicintai oleh generasinya sendiri.
[caption id="attachment_318" align="aligncenter" width="406"] MACAM TENUN IKAT ENDE LIO[/caption]
DIULAS KEMBALI OLEH: IHSAN.D
SUMBER SADURAN DAN PUSTAKA :
http://mozalora.blogspot.co.id/2013/11/tenun-ikat-ende-lio-flores.html
http://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/07/05/mengikat-kebanggaan-negeri-dengan-kain-ikat-flores/
www.kain-tenun-ikat.com/
silahkan di share
BalasHapus