Senin, 21 Desember 2015

MAHASISWA; ANTARA AKADEMIK, ORGANISASI DAN GAYA HIDUP.





Satu-satunya kaum yang memperoleh status Maha adalah mahasiswa. Menjadi mahasiswa adalah kesempatan. Masuk organisasi adalah pilihan. Ya, dari sekian anak negeri ini yang lulus dari Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) hanya sebagian kecil yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, masyarakat selalu menaruh harapan terhadap kaum muda yang bergelut dengan dunia intelektual  dan tergolong dalam kaum elit ilmiah ini. Namun jika melihat fenomena sebagian besar mahasiswa saat ini,  harapan yang ada pada mahasiswa menjadi telaahan tersendiri. Hal ini karena dalam fakta banyak mahasiswa yang apatis dengan upaya pengembangan dirinya sendiri maupun menunjukan kepedulian terhadap kehidupan sosial.
Sebagai golongan generasi muda, mereka adalah generasi pejuang, penerus bangsa dan pewaris segala sumber daya yang ada di bangsa  dan menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.  Mahasiswa tidak hanya sekedar dijuluki sebagai kaum elit ilmiah tetapi juga generasi brilian yang mampu menyuarakan dan mewujudkan kepeduliannya yang diejawantahkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Jika dulu generasi muda dan mahasiswa berjuang dengan mengangkat senjata, perang opini dan taktik dalam politik untuk memerdekakan bangsa hingga saat ini kita nikmati Indonesia yang sudah berkembang dan modern. Sebagai contoh mahasiswa Stovia bergabung dalam Boedi Oetomo mereka berjuang untuk kemerdekaan Indoensia dalam jalur diplomasi. Kemudian secara local dan kedaerahan, dalam club toonel Kelimutu yang didirikan oleh Soekarno ketika pembuangannya di Ende, Pemuda-pemuda saat itu bukanlah mahasiswa atau kaum terpelajar. Tapi mereka punya hiden agenda dan  bergabung dengan club toneel tersebut dan memainkan sandiwara yang berbau tuntutan  kemerdekaan. Itulah profil generasi muda  saat itu. Namun bagaimana  dengan kondisi mahasiswa  saat ini yang sudah banyak kaum elit ilmiahnya yang bernama mahasiswa? 
Dalam realita  ketika awal mereka menyandang status mahasiswa (semester-semester muda) masih nampak gaya lugu, penurut ataupun mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan dari perguruan tinggi baik dari sisi akademik maupun non akademik. Namun dalam perjalanan selanjutnya watak  dan gaya hidup mulai nampak. Ada mahasiswa yang rajin & getol dalam kegiatan akademik maupun dalam upaya pengembangan diri, ada yang malas, ada yang kuliahnya hanya untuk senang-senang, ada yang hanya focus dengan kegiatan akademik, ada yang hanya aktif  dalam dunia organisasi namun lupa dalam urusan akademik. Ada pula yang menganut budaya instanisme semuanya menunggu curahan dari Dosen.
Disisi lain juga terdapat fenomena gaya hidup mahasiswa yang tidak jelas seperti kuliah hanya untuk gagah-gagahan (prestise social) sehingga mau urusan akademik ataupun berorganisasi tidak dipedulikan (apatis).  Belum lagi ada oknum-oknum mahasiswa yang menciptakan kasus ditengah jalan dengan tahu dan mau mencelakakan dirinya dalam kumpul kebo yang mengakibatkan hamil diluar nikah. Selanjutnya ada pula yang  bergaya hidup hedonis dengan tidak pernah peduli dengan pengembangan diri dan apatis terhadap realita kehidupan social di masyarakat. Inilah realita mahasiswa yang berubah seiring dengan seleksi alam dan zaman.
Dipihak lain, faktor  mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan studi tepat waktu apalagi jika dituntut oleh orang tua/pihak yang membiayai perkulihan untuk focus hanya dalam kuliah dan segera menyelesaikan pendidikannya. Sehingga segala energi dikerahkan untuk menggondol gelar sarjana sesegera mungkin atau dapat dikatakan selama aktif kuliah tujuannya adalah mendulang nilai diakhir semester atau yang penting lulus. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan sebagian mahasiswa tanpa mempedulikan upaya pengembangan diri (soft skill) apalagi peduli dengan realita kehidupan masyarakat.


Tapi apakah cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan modal indeks prestasi. Ada elemen yang lebih penting, yakni kemampuan soft skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa, bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin. dimana seseorang harus bisa menunjukan soft skill-nya; tentang kepemimpinan, kemampuan komunikasi, menjalin koneksi, hingga skill managerial.
Kapabilitas soft skill ini tidak diajarkan secara akademik atau terstruktur dalam kurikulum dengan total SKS yang harus ditempuh. Softskill, bisa didapatkan melalui organisasi-organisasi mahasiswa, baik itu Organisasi Intra Kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, HMPS, HMJ, Unit Kegiatan Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), dan Koperasi Mahasiswa, maupun Organisasi Ekstra Kampus semisal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, atau organisasi-organisasi bersifat kedaerahan maupun komunitas-komunitas kemahasiswaan dan lain sebagainya. Lewat media dan forum inilah seorang mahasiswa bisa menempa diri, dengan menambah kemampuan softskill & hardskill, belajar berinteraksi dengan banyak pemikiran, belajar tentang manajerial yang di dalamnya terkandung dari sisi perencanaan, organisir, action, control/pengawasan, dan evaluasi.
Hal yang ingin penulis tegaskan di sini adalah keberadaan organisasi mahasiswa menjadi penting karena kemanfaatannya berdampak pada mahasiswa itu sendiri. Mungkin ada yang takut ketika masuk organisasi waktu belajarnya akan terganggu yang pada akhirnya berpengaruh kepada lamanya studi. Penulis katakan memang ada sebagian kecil mahasiswa yang lalai kuliah akibat terlalu sibuk mengurus organisasi. Tapi kenyataan juga membuktikan, betapa banyak penggiat organisasi yang berhasil lulus tepat waktu, dan dengan indeks prestasi yang sangat memuaskan dan bahkan cumlaude. Sehingga itu bukan menjadi barometer. Faktor utamanya adalah  bagaimana seseorang mahasiswa mampu memaneg waktu antara kuliah, organisasi dan kehidupan sosialnya.
 
Selain berfungsi sebagai media pengembangan diri, organisasi mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa berempati dengan situasi yang terjadi di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak dihadapkan masalah-masalah sosial terutama menyangkut kemiskinan, pelayanan kesehatan, kesenjangan ekonomi, dan ketidakberdayaan dalam menyampaikan aspirasinya, dan ketidakstabilan politik. Organisasi mahasiswa membawa para anggotanya bersinggungan langsung dengan persoalan-persoalan ini, sekaligus mengugah rasa kritis untuk mencari solusi atas apa yang terjadi.
Organisasi mahasiswa menjembatani domain antara kampus sebagai rumah elit ilmiah dengan masyarakat sebagai wadah pembelajaran langsung. Sehingga, ketika terbiasa menghadapi problem kehidupan organisasi, mahasiswa tidak lagi canggung bergumul dengan ruang baru ia dituntut untuk bertanggung jawab dan harus mampu menyelesaikan persoalan, baik di masyarakat maupun di dunia kerja selepas lulus dari perguruan tinggi.
Mahasiswa tanpa organisasi tak ubahnya seorang pelajar tanpa pengalaman lapangan. Mereka tak lain kecuali siswa lanjutan yang hanya belajar materi akademik. Mereka hanya mementingkan bagaimana menjadi orang pintar tanpa merenungkan bagaimana mentransformasikannya dalam kelangsungan hidup masyarakat.

Tidak bisa dipungkiri bahwa teori tidak selalu sama dengan realitas
, ketika ia pintar dengan Indeks Prestasi yang tinggi tapi kemampuan penyampaikan idenya mandek. Ia gugup dan gemetar ketika hendak berbicara didepan umum bagaikan gempa tektonik 7,7 SR.  Ia piawai dalam  berteori, genius sekalipun dalam mengerjakan soal, belum tentu dia bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat maupun dalam dunia kerja. Idenya penuh dalam kepala tapi sulit untuk menyalurkan karena kemampuan berkomunikasinya minim. Pada titik inilah, organisasi dijadikan wadah pengembangan diri  oleh mereka yang mengaku betul-betul mahasiswa.

Secara factual misalnya di Desa,  ketika seseorang menjadi mahasiswa, dalam pandangan masyarakat desa  mahasiswa dikenal sebagai kaum ilmiah yang mampu. Masyarakat tidak berpikir si mahasiswa A atau mahasiswa B mengambil program studi apa/basic ilmunya apa, yang masyarakat tahu bahwa sebagai mahasiswa tentunya ia mampu berbicara, mampu memanej suatu kegiatan. Apalagi ketika ia sudah jadi sarjana. Sebagai contoh kecil, jika kita melihat realita, hampir beberapa alumni sebuah PT (sarjana) saat ini ketika berada di tengah masyarakat tidak mampu menunjukan identitas dan kemampuannya sebagai seorang sarjana. Malahan masyarakat yang hanya berpendidikan, SD, SMP, SMA yang mampu berbicara, baik sebagai MC, Memimpin rapat ataupun menggerakan suatu kegiatan.  Ini menjadi sampel kecil dari riwayat selama seseorang menjadi mahasiswa.

Kalau hanya ingin mencari ilmu pengetahuan, seseorang tidak perlu repot-repot menjadi mahasiswa dan mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Dia bisa belajar secara autodidak dengan membaca koran dan buku ilmiah serta internet atau menyimak diskusi yang dipublikasikan oleh media televisi, misalnya. Namun, dia tidak boleh terlalu banyak bermimpi untuk bisa menjadi leader (pemimpin) dalam sebuah komunitas karena kepemimpinan adalah bagian penting dalam pengalaman organisasi, bagaimana ia harus mampu berkomunikasi, bernegosiasi, dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen.
Sehingga beberapa pihak yang peduli dengan eksistensi mahasiswa mengklasifikasi mahasiswa saat ini berbagai  tipe misalnya; Tipe Kupu-Kupu : Kuliah Pulang-Kuliah Pulang : Tipe ini setelah selesai kuliah lalu pulang tanpa memikirkan apa yang harus dibuat  untuk pengembangan dirinya. Tipe Kusen : Kuliah Untuk Senang-senang : Tipe ini hanya menjadikan status mahasiswa sebagai ajang untuk senang-senang dan menunjukan euphoria dengan gaya hidup yang hedonis dan lain sebagainya.

Pada pihak lain, ada juga beberapa oknum mahasiswa yang sudah bergabung dalam suatu organisasi atau menjadi aktivis juga berpola yang sama dengan mahasiswa yang tidak pernah mengenal organisasi. Bergabung dengan organisasi juga kadang hanya untuk memiliki embel-embel aktivis, mereka tidak mau mengetahui apa yang akan dilakukan ketika sudah bergabung dalam organisasi, budaya instan juga mewabah dikalangan aktivis sehingga tidak mau mencari tahu apa yang perlu dan harus dilakukan dan menunggu curahan ilmu dna pelatihan dari organisasi. Ibarat aktivis quovadis yang tidak tahu kemana arahnya. Sehingga hal ini pataut dipertanyakan akan status aktivisnya.
Demikian pemikiran mini ini, semoga bermanfaat bagi pembaca dan lebih khsus kepada mereka-mereka yang sudah menjadi mahasiwa.

OLEH : IHSAN D.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya