Satu-satunya
kaum yang memperoleh status Maha adalah mahasiswa. Menjadi
mahasiswa adalah kesempatan. Masuk organisasi adalah pilihan. Ya, dari sekian
anak negeri ini yang lulus dari Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) hanya
sebagian kecil yang meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu,
masyarakat selalu menaruh harapan terhadap
kaum muda yang bergelut dengan dunia intelektual dan tergolong dalam kaum elit
ilmiah ini. Namun jika melihat fenomena sebagian besar mahasiswa saat ini, harapan yang ada pada mahasiswa menjadi
telaahan tersendiri. Hal ini karena dalam fakta banyak mahasiswa yang apatis
dengan upaya pengembangan dirinya sendiri maupun menunjukan kepedulian terhadap
kehidupan sosial.
Sebagai
golongan generasi muda, mereka adalah generasi pejuang, penerus bangsa dan
pewaris segala sumber daya yang ada di bangsa dan menghubungkan antara masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Mahasiswa tidak hanya sekedar dijuluki sebagai kaum elit ilmiah tetapi
juga generasi brilian yang mampu menyuarakan dan mewujudkan kepeduliannya yang
diejawantahkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Jika
dulu generasi muda dan mahasiswa berjuang dengan mengangkat senjata, perang
opini dan taktik dalam politik untuk memerdekakan bangsa hingga saat ini kita nikmati
Indonesia yang sudah berkembang dan modern. Sebagai contoh mahasiswa Stovia
bergabung dalam Boedi Oetomo mereka berjuang untuk kemerdekaan Indoensia dalam
jalur diplomasi. Kemudian secara local dan kedaerahan, dalam club toonel
Kelimutu yang didirikan oleh Soekarno ketika pembuangannya di Ende,
Pemuda-pemuda saat itu bukanlah mahasiswa atau kaum terpelajar. Tapi mereka punya hiden agenda dan bergabung dengan club toneel
tersebut dan memainkan sandiwara yang berbau tuntutan kemerdekaan. Itulah profil generasi muda saat itu. Namun bagaimana dengan kondisi mahasiswa saat ini yang sudah banyak kaum elit ilmiahnya
yang bernama mahasiswa?
Dalam
realita ketika awal mereka menyandang
status mahasiswa (semester-semester muda) masih nampak gaya lugu, penurut ataupun
mengikuti semua kegiatan yang diprogramkan dari perguruan tinggi baik dari sisi
akademik maupun non akademik. Namun dalam perjalanan selanjutnya watak dan gaya hidup mulai nampak. Ada mahasiswa
yang rajin & getol dalam kegiatan akademik maupun dalam upaya pengembangan
diri, ada yang malas, ada yang kuliahnya hanya untuk senang-senang, ada yang
hanya focus dengan kegiatan akademik, ada yang hanya aktif dalam dunia organisasi namun lupa dalam
urusan akademik. Ada pula yang menganut budaya instanisme semuanya menunggu
curahan dari Dosen.
Disisi
lain juga terdapat fenomena gaya hidup mahasiswa yang tidak jelas seperti
kuliah hanya untuk gagah-gagahan (prestise social) sehingga mau urusan akademik
ataupun berorganisasi tidak dipedulikan (apatis). Belum lagi ada oknum-oknum mahasiswa yang
menciptakan kasus ditengah jalan dengan tahu dan mau mencelakakan dirinya dalam
kumpul kebo yang mengakibatkan hamil diluar nikah. Selanjutnya ada pula
yang bergaya hidup hedonis dengan tidak
pernah peduli dengan pengembangan diri dan apatis terhadap realita kehidupan
social di masyarakat. Inilah realita mahasiswa yang berubah seiring dengan seleksi
alam dan zaman.
Dipihak
lain, faktor mahalnya biaya pendidikan, menuntut mahasiswa
untuk menyelesaikan studi tepat waktu
apalagi jika dituntut oleh orang tua/pihak yang membiayai perkulihan untuk
focus hanya dalam kuliah dan segera menyelesaikan pendidikannya.
Sehingga segala energi dikerahkan untuk menggondol
gelar sarjana sesegera mungkin atau dapat
dikatakan selama aktif kuliah tujuannya adalah mendulang nilai diakhir semester
atau yang penting lulus. Tak ayal lagi tren study oriented mewabah di kalangan sebagian mahasiswa tanpa mempedulikan upaya pengembangan diri (soft
skill) apalagi peduli dengan realita kehidupan masyarakat.
Tapi apakah
cukup dengan hanya mengandalkan ilmu dari perkuliahan dan indeks prestasi yang
tinggi untuk mengarungi kehidupan pasca wisuda? Ternyata tidak. Dunia kerja
yang akan digeluti oleh alumnus perguruan tinggi tidak bisa diarungi dengan
modal indeks prestasi. Ada elemen
yang lebih penting, yakni kemampuan soft
skill. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan bahasa,
bekerja dalam satu team, serta kemampuan memimpin dan dipimpin. dimana seseorang harus bisa menunjukan soft skill-nya; tentang kepemimpinan,
kemampuan komunikasi, menjalin koneksi, hingga skill managerial.
Kapabilitas soft skill ini tidak diajarkan secara
akademik atau terstruktur dalam kurikulum dengan total SKS yang harus ditempuh.
Softskill, bisa didapatkan
melalui organisasi-organisasi mahasiswa, baik itu Organisasi Intra Kampus
seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, HMPS,
HMJ, Unit Kegiatan Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam
(Mapala), dan Koperasi Mahasiswa, maupun Organisasi Ekstra Kampus semisal Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia, atau organisasi-organisasi
bersifat kedaerahan maupun komunitas-komunitas kemahasiswaan dan
lain sebagainya. Lewat media dan forum inilah
seorang mahasiswa bisa menempa diri, dengan
menambah kemampuan softskill &
hardskill, belajar berinteraksi dengan banyak
pemikiran, belajar tentang manajerial
yang di dalamnya terkandung dari sisi perencanaan, organisir, action,
control/pengawasan, dan evaluasi.
Hal yang ingin
penulis tegaskan di sini adalah keberadaan organisasi mahasiswa menjadi penting
karena kemanfaatannya berdampak pada
mahasiswa itu sendiri. Mungkin ada yang takut ketika masuk organisasi waktu belajarnya akan terganggu yang pada akhirnya berpengaruh kepada lamanya
studi. Penulis katakan memang ada sebagian kecil mahasiswa yang lalai kuliah
akibat terlalu sibuk mengurus organisasi. Tapi kenyataan juga membuktikan,
betapa banyak penggiat organisasi yang berhasil lulus tepat waktu, dan dengan
indeks prestasi yang sangat memuaskan
dan bahkan cumlaude. Sehingga itu bukan menjadi barometer. Faktor utamanya adalah bagaimana
seseorang mahasiswa mampu memaneg waktu antara kuliah, organisasi dan kehidupan sosialnya.
Selain berfungsi
sebagai media pengembangan diri, organisasi
mahasiswa merupakan wahana bagi mahasiswa berempati dengan situasi yang terjadi
di masyarakat. Negara berkembang layaknya Indonesia, banyak dihadapkan masalah-masalah
sosial terutama menyangkut kemiskinan,
pelayanan kesehatan, kesenjangan ekonomi, dan ketidakberdayaan dalam menyampaikan aspirasinya,
dan ketidakstabilan politik. Organisasi mahasiswa membawa para anggotanya
bersinggungan langsung dengan persoalan-persoalan ini, sekaligus mengugah rasa
kritis untuk mencari solusi atas apa yang terjadi.
Organisasi
mahasiswa menjembatani domain antara kampus
sebagai rumah elit ilmiah
dengan masyarakat sebagai wadah
pembelajaran langsung. Sehingga, ketika terbiasa
menghadapi problem kehidupan organisasi,
mahasiswa tidak lagi canggung bergumul dengan ruang baru ia dituntut untuk bertanggung jawab dan harus mampu
menyelesaikan persoalan, baik di masyarakat maupun di
dunia kerja selepas lulus dari perguruan tinggi.
Mahasiswa tanpa
organisasi tak ubahnya seorang pelajar tanpa pengalaman lapangan. Mereka tak
lain kecuali siswa lanjutan yang hanya belajar materi akademik. Mereka hanya
mementingkan bagaimana menjadi orang pintar tanpa merenungkan bagaimana
mentransformasikannya dalam
kelangsungan hidup masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa teori tidak selalu sama dengan realitas, ketika ia pintar dengan Indeks Prestasi yang tinggi tapi kemampuan penyampaikan idenya mandek. Ia gugup dan gemetar ketika hendak berbicara didepan umum bagaikan gempa tektonik 7,7 SR. Ia piawai dalam berteori, genius sekalipun dalam mengerjakan soal, belum tentu dia bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat maupun dalam dunia kerja. Idenya penuh dalam kepala tapi sulit untuk menyalurkan karena kemampuan berkomunikasinya minim. Pada titik inilah, organisasi dijadikan wadah pengembangan diri oleh mereka yang mengaku betul-betul mahasiswa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa teori tidak selalu sama dengan realitas, ketika ia pintar dengan Indeks Prestasi yang tinggi tapi kemampuan penyampaikan idenya mandek. Ia gugup dan gemetar ketika hendak berbicara didepan umum bagaikan gempa tektonik 7,7 SR. Ia piawai dalam berteori, genius sekalipun dalam mengerjakan soal, belum tentu dia bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat maupun dalam dunia kerja. Idenya penuh dalam kepala tapi sulit untuk menyalurkan karena kemampuan berkomunikasinya minim. Pada titik inilah, organisasi dijadikan wadah pengembangan diri oleh mereka yang mengaku betul-betul mahasiswa.
Secara
factual misalnya di Desa, ketika seseorang
menjadi mahasiswa, dalam pandangan masyarakat desa mahasiswa dikenal sebagai kaum ilmiah yang
mampu. Masyarakat tidak berpikir si mahasiswa A atau mahasiswa B mengambil program
studi apa/basic ilmunya apa, yang masyarakat tahu bahwa sebagai mahasiswa tentunya
ia mampu berbicara, mampu memanej suatu kegiatan. Apalagi ketika ia sudah jadi
sarjana. Sebagai contoh kecil, jika kita melihat realita, hampir beberapa alumni
sebuah PT (sarjana) saat ini ketika berada di tengah masyarakat tidak mampu menunjukan
identitas dan kemampuannya sebagai seorang sarjana. Malahan masyarakat yang
hanya berpendidikan, SD, SMP, SMA yang mampu berbicara, baik sebagai MC,
Memimpin rapat ataupun menggerakan suatu kegiatan. Ini menjadi sampel kecil dari riwayat selama
seseorang menjadi mahasiswa.
Kalau hanya
ingin mencari ilmu pengetahuan, seseorang tidak perlu repot-repot menjadi
mahasiswa dan mengeluarkan biaya yang
cukup banyak. Dia bisa belajar secara autodidak dengan
membaca koran dan buku ilmiah serta internet atau menyimak diskusi yang
dipublikasikan oleh media televisi, misalnya. Namun, dia tidak boleh terlalu
banyak bermimpi untuk bisa menjadi leader (pemimpin) dalam sebuah komunitas
karena kepemimpinan adalah bagian penting dalam pengalaman organisasi, bagaimana ia harus mampu berkomunikasi,
bernegosiasi, dan menjalankan fungsi-fungsi manajemen.
Sehingga beberapa pihak yang peduli dengan eksistensi mahasiswa mengklasifikasi mahasiswa saat ini berbagai tipe misalnya; Tipe Kupu-Kupu : Kuliah Pulang-Kuliah Pulang : Tipe ini setelah selesai kuliah lalu pulang tanpa memikirkan apa yang harus dibuat untuk pengembangan dirinya. Tipe Kusen : Kuliah Untuk Senang-senang : Tipe ini hanya menjadikan status mahasiswa sebagai ajang untuk senang-senang dan menunjukan euphoria dengan gaya hidup yang hedonis dan lain sebagainya.
Sehingga beberapa pihak yang peduli dengan eksistensi mahasiswa mengklasifikasi mahasiswa saat ini berbagai tipe misalnya; Tipe Kupu-Kupu : Kuliah Pulang-Kuliah Pulang : Tipe ini setelah selesai kuliah lalu pulang tanpa memikirkan apa yang harus dibuat untuk pengembangan dirinya. Tipe Kusen : Kuliah Untuk Senang-senang : Tipe ini hanya menjadikan status mahasiswa sebagai ajang untuk senang-senang dan menunjukan euphoria dengan gaya hidup yang hedonis dan lain sebagainya.
Pada pihak lain, ada juga beberapa oknum mahasiswa yang sudah bergabung dalam suatu organisasi atau menjadi aktivis juga berpola yang sama dengan mahasiswa yang tidak pernah mengenal organisasi. Bergabung dengan organisasi juga kadang hanya untuk memiliki embel-embel aktivis, mereka tidak mau mengetahui apa yang akan dilakukan ketika sudah bergabung dalam organisasi, budaya instan juga mewabah dikalangan aktivis sehingga tidak mau mencari tahu apa yang perlu dan harus dilakukan dan menunggu curahan ilmu dna pelatihan dari organisasi. Ibarat aktivis quovadis yang tidak tahu kemana arahnya. Sehingga hal ini pataut dipertanyakan akan status aktivisnya.
Demikian
pemikiran mini ini, semoga bermanfaat bagi pembaca dan lebih khsus kepada
mereka-mereka yang sudah menjadi mahasiwa.
OLEH
: IHSAN D.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Beri Komentarnya