Selasa, 08 Desember 2015

DARI NDONA UNTUK NUSANTARA (1 ABAD PAROKI NDONA)

[caption id="attachment_6" align="alignnone" width="873"]Kerukunan Umat di Ndona Acara Penjemputan Salib OMK tahun 2012[/caption]

Hari ini (Selasa, 8/12/2015) merupakan puncak ulang tahun 1 abad Paroki Ndona. Berbagai acara dilewati sebagai rangkaian dalam perayaan 1 abad. Salah satunya acara Seminar Nasional yang menghadirkan Dr. Yudi Latif, Dr. Jhon Dami Mukese dan Dr. Domi Nong sebagai satu pembicara dengan tema Gereja, Soekarno dan Pancasila yang digelar di aula H.j Gadi Djou Universitas Flores (senin, 7/12/2015). Salah satu Sub Tema dalam seminar Nasional tersebut adalah Toleransi Umat Beragama, Dari Ndona Untuk Nusantara dengan keynot speakernya Dr. Domi Nong Pr dan dimoderator oleh Romo Piperno.

Menyimak ulasan dalam seminar tersebut meskipun belum mengcover ciri khas dari Ndona yang majemuk namun muncul suatu pertanyaan Ada apa dengan Ndona? Kenapa Ndona di pilih sebagai Istana Keuskupan Agung Ende oleh Pater P. Noyen pada tahun 1913? Bagaimana Pusat Misi dapat beridiri di Ndona dan Bagaimana dengan kehidupan masyarakakatnya yang majemuk dan kenapa harus dibicarakan dalam moment tersebut.

Pertanyaan dan diskusi tersebut harusnya mengemuka dalam seminar dalam rangka 1 abad paroki Ndona yang juga 1 abad beridirinya Keuskupan Agung Ende. Karena jika berbicara tentang perkembangan agama (khususnya Katolik) di Ende maka tidak dapat terlepas dari Ndona sebagai bagian dari bangunan sejarah.

Nama daerah Ndona sendiri dari sisi asal muasalnya hingga saat ini masih merupakan sebuah misteri yang belum terpecahkan. Namun dibalik misteri nama Ndona terdapat suatu kekayaan dalam kehidupan yang berbeda dengan daerah lain termasuk di wilayah Kabupaten Ende sendiri. Bukan mau menunjukan sisi primordialis tapi dalam moment ini perlu mengangkat sesuatu yang menjadi sisi lain dari kehidupan masyarakat Ndona.

[caption id="attachment_14" align="alignnone" width="2000"]MALAM PENUTUP TAHUN ACARA MALAM PENUTUP TAHUN DI SALAH SATU WILAYAH DI NDONA[/caption]

Kenapa ata Ndona begitu akur dalam kehidupannya? Secara history jauh sebelum agama-agama resmi (Islam/Katolik) hadir di Ndona, orang Ndona sebagai salah satu etnis Lio sudah memiliki kepercayaan akan wujud tertinggi sebagai sesuatu hal yang ghaib yang tidak dapat dilihat, diraba maupun didengar yang dikenal dengan istilah Du’a Ngga’e. Sebagai wujud tertinggi, Du’a Ngga’e itu dipercayai oleh masyarakat Ndona telah ada sebelum segala sesuatu di bumi ini ada. Du’a hadir sebagai yang sulung, yang paling awal hadir dari segalanya termasuk manusia. Du’a Ngga’e bahkan telah ada sebelum alam raya ini tercipta. Kata Du’a selalu berarti, ‘sulung’, ‘terdahulu’, ‘tertua’. ‘berdaulat’, ‘berpribadi tertinggi’, sedangkan konsep Ngga’e mengandung makna ‘keagungan’, penuh dengan daya, kebijaksanaan, kekuatan, kekayaan. Ungkapan tentang keagungan dan kebesaran Du’a Ngga’e tersirat pada “Du’a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana, Du’a Gheta Liru Bara, Nggae Ghale Wena Tana Bewa, yang secara harafiah diartikan Du’a yang berkuasa di atas bulan dan langit, dan Ngga’e yang menguasai dasar bumi yang paling dalam. Namun kedua kata tersebut bukan mengandung dua Tuhan akan tetapi mengapresiasikan bahwa Du’a Ngga’e adalah penguasa langit dan bumi, penguasa jagat raya termasuk seluruh isinya.

Du’a Ngga’e adalah asal segala makhluk yang lain. Dia yang telah menciptakan segala yang ada dan karena itu ia berkuasa atas semua makhuk ciptaanya itu. Ia lebih tinggi dari segala kuasa dan segala kekuatan yang ada, sehingga dari pola pandangan yang sama ini diwariskan secara turun temurun hingga hadirnya agama-agama besar seperti Islam dan Katolik.

[caption id="attachment_7" align="alignnone" width="1000"]PAWAI TAKBIRAN IDUL FITRIH DI NDONA TAKBIRAN IDUL FITRIH DI NDONA 2012[/caption]

Di sisi lain terdapat sebuah pandangan yang sama bahwa orang ndona pada umumnya  selalu menjunjung dan mensakralkan turajaji, sua sasa, nggua tana watu, rasa yang sama sebagai satu turunan dalam konsep kekerabatan dengan ungkapan  ” Kunu Woe eo nge wa’u setuka, se ra, dengan pola hidup dan status sebagai Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ine ame, ipa-imu, eda wuru,  tuka bela, imu riu yang dikemas dalam budaya wurumana. Dengan pandangan yang demikian masyarakat Ndona tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan yang dimanfestasi dalam sikap sehari-hari dan budaya wuru mana pada masyarakat. Sehingga perbedaan keyakinan dalam agama sebagai hal prinsipil  dan pilihan masing-masing masyarakat.

Dalam pola hidup masyarakatnya yang dikatakan berbeda dengan sub etnis lainnya adalah pola pemukiman masyarakat yang berbeda keyakinan. Jika diwilayah lain dibagian pantai tentunya masyarakat beragama Islam dan  daerah yang agak ke dalam yaitu masyarakat yang berkayakinan katolik. Namun di Ndona pola pemukiman masyarakatnya membaur antara keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lainnya. Bahkan dalam satu rumah terdapat masyarakat yang berbeda keyakinan. Inilah yang membedakan Ndona dengan masyarakat daerah lainnya.

Jika digali dari sisi sejarah, berdirinya Paroki dan Istana Keuskupan Ndona tidak terlepas dari peran umat beragama Islam. Menurut riwayat Saat itu P Noyen memilih tempat di Radawuwu-Ndona sebagai pusat Misi. Untuk memuluskan niatnya, Dia berkoordinasi dengan Raja Ndona, Raja Bhaki Bani yang saat itu sudah beragama Islam. Raja Bhaki Bani mendekati Pemilik lahan yaitu dari Sa’o Ria Ata Bhula yang juga sudah beragam Islam. Demi pengembangan akhlak umat yang waktu itu sebagiannya masih berkayikan lokal maka direstui lahan tersebut untuk berdirinya pusat misi. Pemberiannya disaksikan oleh Mosalaki dengan ungkapan “ Pati iwa do lai, Ti’I Iwa Do Wiki” (Memberi tidak untuk diambil kembali) namun dalam urusan adat (Kolu Koe) tetap pada ata bhula. Sehingga pada urusan pembangunan di Misi Ndona Ata Bhula  selalu hadir dan menyaksikan kegiatan pembangunan yang terjadi di Misi Ndona.

Dalam kesaksian para tetua di Ndona urusan pembangunan Gereja Lama dan Istana Keuskupan saat itu, dua umat bahu membahu hingga bangunannya rampung. Misi-pun membuka sekolah dan umat Islam Ndona juga diperkenankan bersekolah pada sekolah yang dibangun pertama kali di Ende dan hal tersebut berlanjut hingga saat ini.

Dengan pola hidup masyarakat Ndona yang masih dalam satu sistem kekerabatan yang kuat dan hubungan kawin mawin adalah modal kehidupan (social capital)  yang terwariskan sejak dahulu kala jauh sebelum masyarakat Ndona mengenal istilah Toleransi, kerukunan ataupun slogan-slogan yang berbau tentang kerukunan. Kerukunan  yang tergambarkan  bukan hanya saat Natal dan Idul Fitrih ataupun baru muncul ketika pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dalam penataan kehidupan beragama tetapi kebersamaan masyarakat Ndona sudah terjadi sejak dahulu kala dan secara dinamis berlaku setiap hari dengan kebiasaan “rapa pati, rapa ono” (Saling memberi, saling menerima).

Jika dikaitkan dengan tema seminar “Gereja, Soekarno dan Pancasila” Secara history, tidak ada bukti tertulis maupun gambar yang memvisualisasikan tentang kehadiran Soekarno di Ndona lebih khsusus di Vicaris Apostilik (Keuskupan) Ndona saat itu. Namun dari penuturan warga setempat Soekarno sering datang di Ndona dan berinteraksi dengan warga Ndona. Bahkan dari keuskupan Ndona membantu peralatan dan Cat Berwarna untuk pementasan tonel saat itu. Meksipun dalam tulisan-tulisan sejarah tentang Soekarno selama di Ende tidak tercantum kedatangan Soekarno di Ndona, namun dari beberapa penuturan para orang tua dan nenek moyang di Ndona mengatakan bahwa Soekarno pernah berinteraksi dengan masyarakat dan terdapat salah satu tempat pada alam terbuka yang digunakan oleh Soekarno untuk shalat dan meditasi yaitu di tempat pemandian para misionaris bernama Kali Ae Tua.

Secara kekinian pola interaksi dan kebersamaan masyarakat Ndona tetap terjaga dan dapat dikatakan belumlah luntur. Ketika pembangunan Gereja Baru Ndona dan pembangunan beberapa masjid kedua umat tetap bahu-membahu baik dari sisi tenaga, bahan dan biaya yang ditujukan untuk pembangunan rumah ibadah. Inilah yang menjadi kekhasan dalam keterlibatan kedua umat yang berbeda keyakinan tidak hanya dari sisi tenaga namun sumbangan material dana dana menjadi wujud nyata budaya gotong royong dan rasa saling memiliki antar sesama umat manusia bahwa rumah ibadah itu juga milik semua orang. Ini menjadi nilai-nilai kearifan lokal (lokal wisdom) yang tumbuh dan bertahan seiring perubahan zaman.

Fakta inilah bahwa kerukunan umat beragama di Ndona dapat dijadikan ikon bagi orang Ende contoh dan corong bagi Negeri yang bernama Nusantara. Sehingga tidaklah mengherankan jika Soekarno menolak Khilafah di Negeri ini karena belajar dari Ende termasuk di Ndona dan karena Ende-lah Negeri Ini memiliki Dasar Negara yaitu Pancasila. Sehingga Banggalah Kita Menjadi Orang Ndona/ Orang Ende.

OLEH : IHSAN D.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya