Sabtu, 05 Desember 2015

ADA APA DIBALIK TARIAN GAWI???

LOMBA GAWI 1 ABAD PAROKI NDONA STASI NDONA

Pada perhelatan akbar dalam usia emas 1 abad Paroki Ndona,  salah satu rangkaian acaranya yaitu lomba gawi yang melibatkan stasi-stasi yang berada di paroki Ndona. Acara lomba gawi yang disaksikan oleh ribuan masyarakat Ndona dan Ende, Pimpinan DPRD Ende dan tamu undangan dari luar pulau memukau para  penonton. Menyaksikan gerakan kaki para peserta gawi yang secara serentak menghentak bumi menandakan tarian gawi memiliki arti yang dalam bagi orang Ende Lio. Dia bukan sekedar suatu tarian tanpa makna ataupun gerakan yang tak berirama namun gawi memiliki pesan yang dalam bagi setiap orang yang berada di dalam maupun diluar lingkaran gawi.

Tari gawi adalah jenis tarian yang sudah ada sejak zaman para leluhur terdahulu. Tari Ini biasanya dipentaskan dalam  upacara – upacara , pengankatan kepala suku  (Wake Ria Renggi Beba), pembangunan rumah adat, mengmpulkan hasil panen dalam lumbung padi, dll.Filosofi tari gawi yaitu sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan berkat dan rahmat kepada masyarakat Ende Lio dan masyarakat umum tentang  panen yang melimpah, harmoni alam, kehidupan yang baik dan kerukunan antar sesame.

Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat ketika di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan.

Secara harafia jika didefinisikan Arti kata “Gawi” sebagai berikut; “Ga” Segan/sungkan. Sedangkan “Wi” artinya menarik, dalam arti menyatukan diri. Tarian ini adalah simbol faktual entitas yang merupakan daya pemersatu kalangan antara bangsawan dan kaum jelata etnik Ende Lio di masa lampau. Filosofi tarian ini adalah merayakan ritual kehidupan, baik pemilihan mosalaki, pembangunan rumah adat, masa panen atau momen lainnya dalam kehidupan etnik Ende Lio. Salah satu tujuan dari upacara adat ini adalah ungkapan syukur atas segala nikmat dari Yang Kuasa dan seruan akan rasa kebersamaan, persatuan dan kesatuan .

LOMBA GAWI 1 ABAD PAROKI NDONA

Tarian gawi dilakukan dengan cara berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam yaitu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur dan maju atau maju mundur

Dalam komposisi bentuk gawi ada bagian -bagiannya yaitu :

  • Sodha (Penyair) Ia berada di tengah-tengah ataupun di luar para penari gawi dan dengan bebas mengungkapkan syair-syair pengiring gawi

  • Eko Wawi.

  • Sike – Ana Jara

  • Naku Ae Wanda Pau

  • Ulu

Waktu dan jumlah peserta tari gawi tidak ditentukan dan tarian ini biasa diadakan di Koja Kanga pada acara Nggua / seremonial adat, bagi peserta gawi diwajibkan ikut bernyanyi pada bagian oro

Dari semua tarian adat Lio, Gawi merupakan sebuah tarian yang mempunyai banyak makna filosofis sebagai berikut:

  1. Makna religius : Beberapa syair yang mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa seperti Syair lagu gawi, "Du’a Gheta Lulu Wula,Ngga’e Ghale Wena Tana". Mempunyai makna pemujaan melalui syair-syair untuk menghormatan terhadap wujud Tuhan yang Maha Tinggi Penguasa langit dan bumi.

  2. Makna Persatuan : Koreografi gawi, dalam bentuk lingkaran bulat (berpengangan tangan). Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lio sangat tergambar jelas melalui ritual gawi ini. Sehingga setiap orang yang terlibat dalam ritual ini harus menyadari betul inti kebersamaan “Ndawi Lima Mawe Rowa Bowa, "To'o Lei Po'o, Mbana Lei Meja".

  3. Makna Kesetaraan jender : Peserta gawi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika Indonesia mengenal kata emansipasi wanita, sesungguhnya orang Lio sudah mengenal kesetaraan jender melalui ritual gawi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti dalam tarian gawi, para perempuan berderet dalam satu barisan dan disambung dengan tangannya kaum adam. Demikian pula disetiap ritual-ritual adat orang Lio, kaum wanita mendapat tempat dengan tugas tersendiri tanpa campur tangan kaum lelaki. Misalnya: Mengatur perbekalan, mengatur hasil-hasil panen, dan juga semua persoalan yang berkaitan dengan rumah adat, karena rumah adat sebagai simbol kelahiran yang datang dari wanita.

  4. Makna Tanggung jawab : Komponen peserta gawi terdiri dari ulu eko, (Pemimpin), tuke ulu eko (Pembantu pemimpin), naku ae (Pendukung/pelaksana). Disini dimaksudkan dalam setiap perkampungan adat Lio, semua para pemimpin adat maupun masyarakat jelata harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap "Du'a Gheta Lulu Wula" serta aturan-aturan adat yang berlaku di dalam adat mereka sendiri.

  5. Makna Tatakrama : Sopan santun, saling menghargai, saling menerima. Inilah yang disebut kepemimpinan adat Lio kolektif kolegial. Artinya semua sesepuh maupun fai walu ana kalo harus saling menghargai, tahu tatakrama, dan saling menerima antara satu dengan yang lainnya.

Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular.

Tarian Gawi merupakn tarian masal baik kaum laki-laki maupun perempuan. para penari tersebut membuat suatu formasi melingkar dengan mengelilingi Tubu Musu di Koja Kanga. Dalam formasi tersebut para penari laki-laki berada di depan atau bagian dalam, sedangkan penari perempuan di belakang atau bagian luar. Namun ada kalanya penari perempuan membuat formasi setengah lingkaran. Formasi tersebut tentunya memiliki arti tersendiri. Gerakan tarian Gawi cukup sederhana karena saling bepegangan tangan, sehingga gerakannya lebih didominasi gerakan kaki maju, mundur, ke kiri dan ke kanan secara bersamaan. Sedangkan gerakan tangan hanya diayun-ayunkan.

12342750_137254509974408_5111932296326377216_n

Dalam tarian Eko Wawi yang berada dibagian tengah yang memimpin tarian dan berusaha memberi spirit bagi penari gawi masal. Sedaangkan Ulu atau Naku Ae, dia memegang parang dan mengiringi penari dengan gerakan yang agak lembut seperti gerakan perempuan namun parag yang dipegang melambangkan bahwa dia adalah prajurit perang. Dalam pertujukan Tari Gawi biasanya tidak menggunakan musik pengiring, hanya diiringi oleh syair yang dibawakan oleh Ata Sodha. Hal ini karena gawi merupakan tarian yang sakral, sehingga harus dilakukan secara hikmat. Dalam tarian gawi, meskipun lokasi koja kanganya kecil akan tetapi dapat menampung berapapun orang yang ingin mengikuti tarian gawi tersebut.

Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita.

Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang lalu memberinya makan berupa telur ayam sebagai wujud penghormatan.

Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak.. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos.

Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair.

12289498_406265942905228_3825526777732865947_n

Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, Moni, Tenda atau Watuneso, Nggela, Ndona . Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores  dan khususnya Ende Lio sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?

DI OLAH DARI SUMBER:

Sumber Foto :

https://www.facebook.com/mario.sari.90?fref=nf

https://www.facebook.com/awetndona.awet?fref=nf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya