Senin, 26 Oktober 2015

KEBERADAAAN PAROKI MARIA IMAKULATA NDONA DALAM PANDANGAN KAUM MUSLIMNDONA (Sebuah Catatan atas 100 tahun/1 abad)

Tulisan ini merupakan tanggapan yang di minta oleh Panitia  ulang Tahun 1 abad Paroki Maria Imakulata Ndona yang jatuh di bulan Desember 2015. Melalui permenungan dan membaca realita kehidupan masyarakat Ndona khususnya, saya mencoba menggoreskan dalam sebuah catatan kecil ini.

Dengan melihat fakta kehidupan akhir-akhir ini pertanyaan yang muncul, Apakah kedamaian dan keamanan dan kenyamanan sekarang begitu mahal di negeri ini? Masih adakah kerukunan antar umat manusia yang terjalin mesra di republik ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang mengusik kita setelah Indonesia dikejutkan dengan beberapa konflik horizontal yang disulut oleh suatu kata yang namanya “perbedaan”.
Ibu-ibu berjilbab dan Para Suster menari (gawi) dalam sebuah acara di Ndona
Ibu-ibu berjilbab dan Para Suster menari (gawi) dalam sebuah acara di Ndona

Pertanyaan lanjutan, Kenapa harus perbedaan? Mengapa manusia tidak sama satu dengan yang lainnya? Kalau dipikirkan, kenapa manusia ada yang kuat ada yang lemah, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang hitam ada yang putih, ada yang tinggi ada yang pendek. Ada yang percaya akan Tuhan ada yang tidak percaya akan Tuhan. Ada yang sudah percaya akan Tuhan namun itupun masih berbeda dari keyakinan terhadap Tuhan. Begitu luar biasa dan banyaknya perbedaan antar manusia.

Apakah manusia diciptakan berbeda untuk saling menguasai atau mengungguli yang lain? Semestinya tidak. Manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, saling melengkapi dan dapat saling mengisi. Kita semua sebagai umat beragama yang percaya akan Tuhan, tentunya meyakini bahwa semua ciptaan-Nya pada dasarnya adalah baik. Manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda agar kehidupan seluruh umat manusia menjadi lebih baik.

ACARA MALAM PENUTUP TAHUN 2012
ACARA MALAM PENUTUP TAHUN 2012 DI SALAH SATU WILAYAH DI NDONA

Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain atau menjadi dirinya sindiri. Inilah sifat individualitas. Karena adanya individualitas itu setiap orang mempunyai kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan,   semangat dan daya tahan serta keyakinan yang berbeda-beda.

Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat manusia dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, agama dan golongan.

Disaat beberapa daerah di negeri ini mengalami konflik berbau SARA hal yang berbanding terbalik terpampang di Ndona dengan pola hidup dan kerukunan yang terus terjaga. Pertanyaan lanjutan apakah budaya rukun  ini baru muncul di masa sekarang?. Tentu tidak, Sudah dari generasi ke generasi pola hidup masyarakat ndona yang akur dan rukun tanpa memandang dari sisi agama khususnya ataupun persepsi “ata mai dan ana tana” sehingga semangat kekeluargaan sudah terpatri dalam diri setiap warga ndona.

ACARA MALAM PENUTUP TAHUN DI SALAH SATU WILAYAH DI NDONA
ACARA MALAM PENUTUP TAHUN DI SALAH SATU WILAYAH DI NDONA

Secara religiositas jauh sebelum agama-agama baik katolik maupun islam masuk di bumi flobamora serta di tanah Ende bahkan di Indonesia pada umumnya, masyarakat Ndona sebagai salah satu etnis Lio sudah memiliki kepercayaan akan wujud tertinggi sebagai sesuatu hal yang ghaib yang tidak dapat dilihat, diraba maupun didengar yang dikenal dengan istilah Du’a Ngga’e. Sebagai wujud tertinggi, konsep Du’a Ngga’e itu dipercayai oleh masyarakat suku Lio telah ada sebelum segala sesuatu di bumi ini ada. Du'a hadir sebagai yang sulung, yang paling awal hadir dari segalanya termasuk manusia. Du'a Ngga’e bahkan telah ada sebelum alam raya ini tercipta. Kata Du'a selalu berarti, ‘sulung’, ‘terdahulu’, ‘tertua’. ‘berdaulat’, ‘berpribadi tertinggi’, sedangkan konsep Ngga'e menandung makna ‘keagungan’, penuh dengan daya, kebijaksanaan, kekuatan, kekayaan. Ungkapan tentang keagungan dan kebesaran Du’a Ngga’e tersirat pada Du'a gheta lulu wula, Ngga’e ghale wena tana yang secara harafiah diartikan Du’a yang berkuasa di atas bulan, dan Ngga’e yang menguasai dasar bumi yang paling dalam. Namun kedua kata tersebut bukan mengandung dua Tuhan akan tetapi mengapresiasikan bahwa Du’a Ngga’e adalah penguasa langit dan bumi, penguasa jagat raya termasuk seluruh isinya.

Du’a Ngga’e adalah asal segala makhluk yang lain. Dia yang telah menciptakan segala yang ada dan karena itu ia berkuasa atas semua makhuk ciptaanya itu. Ia lebih tinggi dari segala kuasa dan segala kekuatan yang ada, sehingga dari pola pandangan yang sama ini diwariskan secara turun temurun hingga hadirnya agama-agama besar seperti Islam dan Katolik.

Di sisi lain terdapat sebuah pandangan yang sama bahwa orang ndona pada umumnya  selalu menjunjung dan mensakralkan turajaji, sua sasa, nggua tana watu, rasa yang sama sebagai satu turunan dalam konsep kekerabatan dengan ungkapan  " Kunu Woe eo nge wa’u setuka, se ra, dengan pola hidup dan status sebagai Eja kera, aji-ka’e, weta-nara, ine ame, ipa-imu, eda wuru,  tuka bela, imu riu yang dikemas dalam budaya wurumana. Dengan pandangan yang demikian masyarakat Ndona tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan yang dimanfestasi dalam sikap sehari-hari dan budaya wuru mana pada masyarakat. Sehingga perbedaan keyakinan dalam agama sebagai hal prinsipil  dan pilihan masing-masing masyarakat.

Sesuai ajaran dan keyakinan agama islam warga ndona memiliki pandangan sebagaimana tercantum dalam salah satu ayat alquran "lakum diinukum wal yadin " (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Dengan demikian agama adalah pilihan masing-masing dan tidak harus memutuskan tali persaudaraan dan hubungan kekerabatan.

KEGIATAN PENGHIJAUAN DI SALAH SATU DESA DI NDONA
KEGIATAN PENGHIJAUAN DI SALAH SATU DESA DI NDONA

Dalam pandangan kaum muslim ndona, eksistensi gereja dan paroki ndona memiliki peran yang baik hingga saat ini. Menurut sejarah turun temurun bahwa lokasi berdirinya keuskupan, paroki dan misi ndona dahulunya diwakafkan oleh para tetua adat dan pemilik yang sudah beragama Islam saat itu. Demikian pula lokasi baru saat ini meskipun terjadi sistem jual beli namun demi pembangunan sarana ibadah, beberapa pemilik  yang beragama islam iklas melepaskan lahan garapannya.

Masih dalam konteks sejarah bahwa kehadiran para  misionaris saat membuka sekolah pertama kali pada tahun 1915 yang mengenyam pendidikan saat itu termasuk anak-anak dari kaum muslim dan hal itupun terjadi hingga saat ini. Dengan pola hidup masyarakat Ndona yang masih dalam satu sistem kekerbatan yang kuat dan hubungan kawin mawin adalah modal kerukunan yang terwariskan sejak dahulu kala jauh sebelum masyarakat Ndona mengenal istilah Toleransi, kerukunan ataupun slogan-slogan yang berbau tentang kerukunan. Kerukunan  yang tergambarkan  bukan hanya saat Natal dan Idul Fitrih tetapi terjadi secara dinamis setiap hari. Sehingga pernah di tahun 2009 saat kunjungan Gubernur NTT ke Masjid Baiturahman Kanakera, Mantan Camat Ndona Petrus Mite mengatakan jika ingin melihat dan belajar toleransi  maka datanglah di Ndona.

Dalam konteks sejarah juga, Soekarno sebagai sang proklamator bangsa dan Pencetus Pancasila, pernah datang ke Ndona lebih khusus ke Paroki Ndona untuk berdiksusi dengan para misionaris. Bahkan dari keuskupan Ndona juga membantu peralatan untuk pementasan tonel saat itu. Meksipun dalam tulisan-tulisan sejarah tentang Soekarno selama di Ende tidak tercantum kedatangan Soekarno di Ndona, namun dari beberapa penuturan para orang tua dan nenek moyang di Ndona mengatakan bahwa Soekarno pernah berinteraksi dengan masyarakat dan terdapat salah satu tempat meditasi dan shalat di Ndona.

Secara kekinian, Masih terngiang bayangan atas sebuah moment indah ketika acara pawai takbiran menyambut Idul Fitrih, masyarakat ndona baik yang muslim dan non muslim-pun juga ikut berpartisipasi dan bahu membahu dalam menyemarakan pawai takbiran idul fitrih sejak awal persiapan hingga prosesi. Sudah bertahun-tahun tradisi dan kebersaman ini terajut.

Kemudian memori indahpun terjadi pada tanggal 9-16 September 2012. Suatu pemandangan yang cukup menarik dan langka di negeri ini ketika menyaksikan kelompok masyarakat  yang berbeda keyakinan berbaur dalam satu suasana kebersamaan tanpa ada sekat yang membedakan dari sisi keyakinan. Dalam acara penyambutan salib Orang Muda Katolik (OMK) Masyarakat Kecamatan Ndona yang berbeda keyakinan bersama-sama menyambut salib OMK dari lingkungan ke lingkungan hingga mengantar salib tersebut ke paroki lain. Demikian pula ketika penggalian kubur dan pemindahan kerangka 4 misionaris yang juga melibatkan kaum muslim di ndona.

Umat Islam Ndona memikul Peti para misionaris di Ndona
Umat Islam Ndona memikul Peti para misionaris di Ndona

Sedangkan bukti nyata yang bukan bersifat seremoni yaitu ketika pembangunan gereja baru Maria Imakulata Ndona dan pembangunan beberapa masjid yang ada di wilayah Kecamatan Ndona. Keterlibatan kedua umat yang berbeda keyakinan tidak hanya dari sisi tenaga namun sumbangan material dana dana menjadi wujud nyata budaya gotong royong dan rasa saling memiliki antar sesama umat manusia bahwa rumah ibadah itu juga milik semua orang. Fakta inilah bahwa kerukunan umat beragama di Ndona dapat dijadikan ikon bagi orang Ende contoh dan corong bagi Negeri Ini sehingga tidaklah mengherankan jika Soekarno menolak Khilafah di Negeri ini karena belajar dari Ende dan karena Ende-lah Negeri Ini memiliki Dasar Negara yaitu Pancasila. Sehingga Banggalah Kita Menjadi Orang Ndona/ Orang Ende.

OLEH : IHSAN DATO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Beri Komentarnya