Pada 1 Juni 2013 yang lalu diresmikan situs Pelestarian Kawasan Bersejarah Bung Karno di Ende Flores (dahulu ditulis Endeh), Nusa Tenggara Timur. Situs sejarah yang diresmikan ialah monumen patung Soekarno duduk menghadap laut di bawah pohon sukun, dan revitalisasi rumah yang pernah ditempati Soekarno bersama Ibu Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami dan ibu Amsi (mertua). Pohon sukun yang ada sekarang ditanam tahun 1981, sedangkan pohon sukun yang menjadi kenangan sejarah Bung Karno di Ende telah tumbang tahun 1960.
Namun sebelum dibuang ke Ende (Endeh saat itu) terdapat suatu persitiwa yang membuat Bung Hatta kecewa berat, marah besar, menyaksikan Sukarno yang jadi “lembek” setelah menggelegarkan pidato “Indonesia Menggugat”. Tanggal 31 Juli 1933. “Sekali ini, Sukarno menjadi korban bukan karena kekejaman pemerintah, melainkan korban daripada diri sendiri, karena luntur iman dan ternyata pula tidak mempunyai karakter (watak)… Sikap Sukarno memberi cemar kepada seluruh pergerakan nasional dan harus dicela sekeras-kerasanya,” demikian tulis Bung Hatta di Koran Daulat Ra’jat, satu tulisan tajam menyerang Sukarno.
Sukarno ditangkap dan ditahan. Penahanan inilah yang begitu “menyiksa batin” Sukarno sampai beliau menulis empat surat permohonan pembebasan ke Hindia Belanda dan berjanji “untuk mengundurkan diri dari kehidupan politik, dan menjadi warga yang tenang untuk mengurus keluarga dengan menjalankan praktik arsitek dan keinsinyuran”.
Permohonan Sukarno yang sudah menyerah kalah itu, dijawab dengan suatu hal yang jauh dari dugaan sang penggali Pancasila itu, ia dibuang ke Ende, Flores. Padahal, sebelumnya Sukarno berujar, “Kekejaman yang paling hebat yang dapat mengganggu pikiran manusia adalah pengasingan. Sungguh hebat akibatnya! Ia dapat menggoncangkan dan membelokkan kehidupan seseorang.”
Pada tahun 1934 Sukarno dibuang ke Ende, dan Tuhan punya kehendak lain. Sejarah pun mencatat bahwa Ende adalah kawah candradimuka bagi seorang Sukarno, atau sekolah “pasca-sarjana”, di Ende Sukarno mendapatkan amusi spiritual yang kuat untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan.
Secara pribadi, Ende menjadi tempat perkembangan penting dalam diri Sukarno, yaitu perubahan diri manusia ‘singa podium’ menjadi ‘manusia perenung’. Sukarno di Jawa adalah Sukarno ‘pembakar massa’. Sukarno di Ende adalah Sukarno relektif, pemikir, lebih banyak waktu dipakai untuk tenggelam dalam perpustakaan, bertukar pikiran dengan para pendeta, ulama, dan para cendekiawan. Bahkan di Ende, Sukarno menjadi seorang seniman dengan kepekaan rasa yang tinggi, ia pun membuat kelompok tonil, Kalimoetoe Toneel Club, yang salah satu karyanya menjadi legenda zaman sekarang, Rahasia Kalimatoe.
Jika kita terkagum-kagum akan pidato Nawaksara yang menjadi lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, maka kita bisa berkata bahwa moment kehidupan Sukarno di Ende adalah spirit kuat “tergalinya” Pancasila.
Ketika di Ende, Sukarno menjalin hubungan baik dengan kalangan Nasrani. Ia berhubungan dengan Johannes var der Hijden, sekertaris keuskupan di Ende, dan menjadi teman diskusi soal agama-agama dan memperkenalkan katolikisme kepada Sukarno. Lalu, Sukarno pun menjalin hubungan dengan Pater Huijtink, yang sebenarnya ditugasi oleh Hindia Belanda untuk menyunting naskah-naskah drama Sukarno di Ende.
Bukan hanya dua mana Nasrani ini, Sukarno pun berdebat hebat dengan Bouma dan Van Stiphout. Dari Stiphout-lah Sukarno memahami manifesto ekonomi-politik yang dikeluarkan Paus Leo XIII pada 1891. Pandangan Rerum Novarum sangat sesuai dengan pemikiran-pemikiran ekonomi-politik Sukarno yang sangat anti-kolonialisme dan kapitalisme. Perkenalan Sukarno dengan non-Muslim di Ende, membawa semangat pluralisme dan toleransi yang menjadi jiwa ideologi Pancasila.
Kita pun tahu, Sukarno di Ende berguru atau berdiskusi dengan pimpinan Persatuan Islam, A. Hasan. Dari surat-menyurat itu kita tahu bahwa Sukarno bukan seseorang yang hanya gandrung akan pemikiran anti-kolonialisme dan marxisme semata, melainkan seorang pemikir Islam yang kuat. Satu istilah Sukarno yang masih kerap dipakai atau diujarkan atau dikutip oleh mereka yang punya interes akan pemikiran Islam.
Inilah yang kemudian menjadi buku Sukarno, yang memuat surat-suratnya ke A. Hasan dan beberapa artikel beliau di Majalah Panji Masyarakat. Bagi Sukarno, Islam bukanlah sebuah agama yang terkunci rapat, melainkan harus menjadi sesuatu yang hidup di arena pergulatan dan perubahan sosial. Sukarno memanggap bahwa Islam akan terus ada sampai kiamat tiba bukan karena ditakdirkan abadi, melainkan karena Islam memang berharga. ‘Harga’ itu terletak dalam peranan Islam menggerakan orang banyak untuk menumbangkan kejumudan, menghancurkan ketidakadilan, dan menjauh dari utopisme semu.
[caption id="attachment_131" align="alignnone" width="248"] Bung Karno sedang berbincang dengan Pater G. Huijtink SVD (berjenggot) dan Pater A. Tiyssen SVD[/caption]
Salah satu yang sangat utopis bagi Sukarno adalah khilafah islamiah. Kita tahu, Sukarno sangat gandrum akan Musthafa Kemal Atruk di Turki yang merobohkan sistem Khilafah di dunia Islam. Sukarno pun menulis, “Mengejar kamajuan bagi Islam bukan terletak dalam berbalik ke belakang, ke seribu tahun lalu, zaman kemegahan Islam, bukan kembali ke zaman khilafah, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman… Masyarakat minta maju, maju kedepan, maju kemuka, maju ketingkat yang ‘kemudian’ dan tak mau disuruh ‘kembali’,” tulis Bung Karno dengan gayanya yang khas dan berapi-api.
Ende merupakan salah satu tonggak dalam perjalanan hidup dan sejarah Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan dan pemimpin bangsa. Soekarno menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Ende mulai 1934 sampai 1938. Dalam buku Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam (Solichin Salam: 1964) diungkapkan, dengan dibuangnya Bung Karno oleh pemerintah kolonial Belanda ke Endeh merupakan permulaan zaman baru dalam sejarah hidupnya. Sejak berada dalam pembuangan inilah semakin kuat hasrat dan keinginan Bung Karno untuk mempelajari agama Islam dengan jalan membaca buku-buku tentang Islam baik yang ditulis oleh orientalisten Barat maupun sarjana-sarjana Islam sendiri dalam berbagai bahasa. Selama di Endeh, selain rajin membaca dan mempelajari buku-buku Islam, Bung Karno berkorespondensi dengan A. Hassan, seorang ulama Islam terkenal dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis) Bandung. Surat menyurat ini berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936.
Menurut catatan Solichin Salam, di dalam surat-surat Soekarno tertuang seluruh isi hati dan jiwanya tentang agama Islam dan umat Islam di Indonesia yang pada waktu itu diliputi kebekuan dan kekolotan. Surat-surat tersebut; pertama tertanggal 1 Desember 1934, kedua 25 Januari 1935, ketiga 26 Maret 1935, keempat 17 Juli 1935, kelima 15 September 1935, keenam 25 Oktober 1935, ketujuh 14 Desember 1935, kedelapan 22 Pebruari 1936, kesembilan 22 April 1936, kesepuluh 12 Juni 1936, kesebelas 18 Agustus 1936, dan kedua belastertanggal 17 Oktober 1936. Surat-surat ini dihimpun dan diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul “Surat-Surat Islam Dari Endeh”(Persatuan Islam - Bandung: 1936).
Dalam salah satu surat, Soekarno menulis:
“Di Endeh sendiri tak ada seorang pun yang bisa saya tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa), dan ..... kolot bin kolot. Semuanya hanya mentaqlied saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu dua yang berpengetahuan sedikit, di Endeh ada seorang sayyid yang sedikit terpelajar, tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikit pun dari kitab fiqih, dependent, unfree, taqlid. Quran dan Api Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itulah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau difikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqih kitab fiqih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo Ruh dan Semangat Islam.”
Soekarno menyoroti keadaan dunia Islam dalam suratnya, “Bila kita melihat jalannya history Islam, maka tampaklah disitu akibatnya taqlied itu sebagai satu garis ke bawah, garis decline, sampai sekarang. Bahwa dunia Islam adalah mati geniusnya, semenjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi imam yang empat, en dus harus mentaqlied saja kepada tiap-tiap kiyai atau ulama dari sesuatu mazhab yang empat itu.”
[caption id="attachment_132" align="alignnone" width="300"] Soekarno (berpeci dan jas putih berdasi) bersama Inggit Ganarsih berbaur bersama para pemain Tonil saat dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Ende, NTT[/caption]
Kegiatan missionaris dan dakwah Islam tak luput dari perhatian Soekarno selama di Ende. Berikut petikan penuturannya kepada A. Hassan,“Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu ada pulau missi yang mereka sangat banggakan....Saya sendiri melihat, bagaimana mereka bekerja mati-matian buat mengembangkan mereka punya agama di Flores...... Tapi kita, kenapa kita malas, kenapa kita teledor, kenapa kita tak mau kerja, kenapa kita tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Missi di dalam beberapa tahun sahaja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa banyak orang kafir yang bisa dihela oleh Islam di Flores itu?”
Soekarno sering dikirimi buku dan majalah Islam oleh Ustadz A. Hassan, ulama pendidik yang sangat pemurah, penulis Tafsir Al Quran dan penerbit majalah-majalah Islam yang tersohor. Inilah surat balasan terima kasih Soekarno kepada A. Hassan tertanggal Endeh, 26 Maret 1935:
“Assalamu’alaikum w.w. Tuan punya kiriman pos paket telah tiba di tangan saya, seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru ini harilah saya bisa menyampaikan kepada Tuan terima kasih kami laki-isteri serta anak. Biji jambu mede menjadi “ganyeman” seisi rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit “liar”, rasanya tak nyaman. Maklum, belum ada orang yang menanam varieteit yang baik. Oleh karena itu , maka jambu mede itu menjadikan pesta. Saya punya mulut sendiri tak berhenti-henti mengunyah! Buku yang tuan kiriman itu segera saya baca. Terutama “Soal-Jawab” adalah suatu kumpulan jawahir-jawahir. Banyak yang semula kurang terang, kini lebih terang. Alhamdullilah! Saya belum ada Bukhari dan Muslim yang bisa dibaca. Betulkah belum ada Bukhari Inggris? Saya pentingkan sekali mempelajari hadis, oleh karena saya tuliskan sedikit di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang “jalankan” hadis yang dhaif dan yang palsu. Karena hadis-hadis yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketahayulan, bid’ah, anti rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yang lebih rasional dan simplistic daripada Islam. Saya ada sangkakan keras bahwa rantai taqlied yang merantai ruh dan semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintu bab el-Ijthihad, antara lain, ialah hasilnya hadis-hadis yang dhaif dan palsu itu. Kekolotan dan kekonservativan-pun dari situ datangnya. Karena itu adalah saya punya keyakinan yang dalam, bahwa kita tak boleh menghasilkan harga yang mutlak kepada hadis. Walaupun menurut penyelia dikatakan Shahieh. Human reports (berita yang datang dari manusia) tak absolute, absolute hanyalah kalam Ilahi. Benar atau tidaknya pendapat saya ini? Di dalam daftar buku, saya baca Tuan ada sedia “Jawahirul-Bukhari”. Kalau Tuan tiada keberatan , saya minta buku itu, niscaya di situ banyak pengetahuan pula yang saya bisa ambil. Dan kalau Tuan tidak keberatan pula, saya minta “keterangan hadis mi’raj”. Sebab, saya mau bandingkan dengan saya punya pendapat sendiri, dan dengan pendapat Essad Bey, yang di dalam salah satu bukunya ada mengasih gambaran tentang kejadian ini. Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan percaya saja, yakni dengan mengecualikan keterangan “akal”. Padahal keterangan yang rasional di sini ada. Siapa kenal sedikit ilmu psikologi dan parapsikologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalitis itu. Kenapa suatu hal harus “dighaibkan” kalau akal bisa menerangkan? Saya ada keinginan pesan dari Eropa, kalau Allah mengabulkannya dan saya punya mbakyu suka membantu uang harganya, bukunya Ameer Alie “The Spirit Of Islam”. Baikkah buku ini atau tidak? Dan dimana uitgevernya ? Tuan, kebaikan budi Tuan kepada saya, hanya sayalah yang merasai betul harganya, saya kembalikan lagi kepada Tuhan. Alhamdulilah, segala puji kepada-Nya. Dalam pada itu, kepada Tuan 1.000 kali terima kasih. Wassalam, Soekarno.”
Sebelum meninggalkan pulau Flores, Soekarno sempat menanam pohon kokara, yaitu sejenis pohon yang berdaun lima. Kemudian oleh beliau pohon tersebut diberi nama “pohon Pancasila”. Selama pengasingan di Ende yang merupakan “penjara terbuka”, konon Soekarno merenungkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok-pokok pikiran Pancasila.
Pada tahun 1938 Soekarno dibuang ke Bengkulu, Sumatera Selatan, yang di masa itu bernama Bengkulen. Selama dalam pembuangan di Bengkulu ini Soekarno aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu, serta aktif menulis artikel-artikel tentang Islam. Dalam kurun waktu tersebut muncul polemik intelektual yang berbobot dan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir mengenai hubungan agama dengan negara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, pelestarian kawasan bersejarah Bung Karno di Ende tidak lengkap tanpa mengenang jejak pemikiran islam Soekarno dan aktivitas surat-menyuratnya dengan A. Hassan Bandung mengenai berbagai masalah agama. Surat-surat Islam dari Endeh tidak bisa dilupakan atau dikecilkan artinya bagi pembinaan nasionalisme Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, adil dan beradab.
Semangat Soekarno yang menggelorakan kehidupan berpikir dalam Islam sembari membangkitkan kesadaran bangsa dan perannya sebagai penggali landasan falsafah negara Pancasila merupakan mozaik sejarah yang berharga bagi generasi muda. Memang, tidak semua orang sepakat dan sependapat dengan pemikiran Islam dan garis politik Soekarno sewaktu berkuasa, namun dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia Bung Karno adalah orang besar dan berjasa terhadap bangsa dan tanah air. Bung Karno salah seorang Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung Hatta. Ini satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Wallahu a’lam bisshawab.
Diolah dari sumber :
www.radartasikmalaya.com
bidikmisiuinjkt.blogspot